Jumat, 10 Juni 2016

PANTAI SEMBUKAN WONOGIRI

0 komentar

Aslinya ombaknya gede banget guys..


Pantai Sembukan Wonogiri,,, Surga Bagi orang yang mencintai Tuhannya, tempat dimana Tuhan menunjukkan sedikit Saja ke-Maha-an Nya...

Pantai Sembukan Wonogiri...... Tempat Bagi orang yang mempercayai keberadaan suatu kerajaan Gaib.. Pintu ketigabelas untuk menuju Kerajaan Gaib Tersebut..

Pantai Sembukan Wonogiri....... Tempat para pecinta Karst memperoleh ilmu, menggelitik pemikiran, mendorong kaki melangkah, dan mengutuk tangan menulus keindahannya.......

Minggu, 06 Maret 2016

14 PRINSIP ILMU LINGKUNGAN

0 komentar
ENVIRONMENTALIST WAJIB BANGET TAHU... Prinsip 1 “Semua energi yang memasuki sebuah organisma (hidup), populasi atau ekosistem, dapat dianggap sebagai energi yang tersimpan atau terlepaskan. energi dapat diubah dari satu bentuk ke bentuk yang lain, tetapi tidak dapat hilang, dihancurkan atau diciptakan”. Prinsip 2 “Tidak ada sistem pengubahan energi yang betul-betul cermat” Prinsip 3 “Materi, energi, ruang, waktu dan keanekaragaman adalah kategori sumberdaya alam” Prinsip 4 “Untuk semua kategori sumber alam, kalau pengadaan sumber itu sudah cukup tinggi, pengaruh unit kenaikannya sering menurun dengan penambahan sumber alam itu sampai ke suatu tingkat maksimum. Melampaui batas maksimum ini, tak akan ada pengaruh yang menguntungkan lagi. untuk semua kategori sumber alam (kecuali keanekaragaman dan waktu). Kenaikan pengadaan sumber alam yang melampaui batas maksimum, bahkan akan mempunyai pengaruh yang merusak karena kesan peracunan. Ini adalah prinsip penjenuhan. Untuk banyak fenomena sering berlaku kemungkinan penghancuran yang disebabkan oleh pengadaan sumber alam yang sudah mendekati batas maksimum”. Prinsip 5 “Ada 2 jenis sumberdaya alam dasar, yaitu sumberdaya alam yang pengadaannya dapat merangsang penggunaan seterusnya dan ada pula sumberdaya alam yang tak mempunyai daya rangsang penggunaan lebih lanjut”. Prinsip 6 “Individu dan spesies yang mempunyai lebih banyak keturunan daripada saingannya, cenderung berhasil mengalahkan saingannya itu” Prinsip 7 “Kemantapan keanekaragaman suatu komunitas lebih tinggi di alam lingkungan yang mudah diramal” Prinsip 8 “Bahwa sebuah habitat (lingkungan hidup) itu dapat jenuh atau tidak oleh keanekaragaman takson. bergantung kepada bagaimana niche dalam lingkungan hidup itu dapat memisahkan takson tersebut” Prinsip 9 “Keanekaragaman komunitas apa saja sebanding dengan biomasa dibagi produktivitasnya” Prinsip 10 “Perbandingan (rasio) antara biomasa dengan produktivitas (b/p) naik dalam perjalanan waktu pada lingkungan yang stabil hingga mencapai sebuah asimtot”. Prinsip 11 “Sistem yang sudah mantap (dewasa) mengeksploitasi sistem yang belum mantap/belum dewasa” Prinsip 12 “Kesempurnaan adaptasi suatu sifat atau tabiat bergantung kepada kepentingan relatifnya dalam keadaan suatu lingkungan” Prinsip 13 “Lingkungan yang secara fisik stabil memungkinkan berlakunya penimbunan keanekaragaman biologi dalam ekosistem yang mantap (dewasa), yang kemudian dapat menggalakkan kestabilan kepada populasi” Prinsip 14 “Derajat pola keteraturan naik-turun populasi bergantung kepada jumlah keturunan dalam sejarah populasi sebelumnya yang nanti akan mempengaruhi populasi itu” Sumber: Buku Ilmu Lingkungan; R. E. Soeriaatmadja

NGAYOGJAZZ 2015

0 komentar
haiii.... long time no see guys hari ini aku mau ngasih salah satu keisenganku buat mbikin tugas kuliah tentang Ngayogjazz 2015.. so... dibawa woles aja yess...

Kamis, 24 Desember 2015

HIDROLOGI HUTAN

0 komentar

CRITICAL REVIEW- EKONOMI LINGKUNGAN - ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN-KONVERSI

0 komentar





CRITICAL REVIEW
NILAI EKONOMI TOTAL KONVERSI LAHAN PERTANIAN DI KABUPATEN SLEMAN
(Total Economic Value of the Land Agricultural Conversion in Slemsn Regency)

Rika Harini*, Hadi Sabari Yunus*, Kasto*, Slamet Hartono**
* Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada
**Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada


I.   PENDAHULUAN
Artikel berjudul Nilai Ekonomi Total Konversi Lahan Pertanian Di Kabupaten Sleman yang ditulis oleh Rika Harini, Hadi Sabari Yunus, Kasto, dan Slamet Hartono, dosen Fakultas Geografi dan Pertanian Universitas Gadjah Mada dan di publikasi dalam Jurnal Manusia dan Lingkungan, Vol. 20, No.1, Maret. 2013: 34-46 ini membahas tentang permasalahan adanya konversi lahan pertanian dengan pendekatan nilai ekonomi total (Total Economic Value-TEV). Jurnal dengan bahasan berupa akibat adanya suatu konversi lahan pertanian ini mencoba menggambarkan seberapa luas konversi lahan pertanian menjadi nonpertanian yang telah terjadi di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta dan nilai ekonomi akibat adanya konversi tersebut, serta dampak konversi lahan pertanian tersebut.
Jurnal ini dapat dikatakan sesuai dengan kondisi lingkungan yang ada saat ini  dimana banyak terjadi konversi lahan pertanian yang massif terutama di daerah perkotaan akibat semakin meningkatnya jumlah penduduk baik melalui angka kelahiran maupun akibat arus urbanisasi. Konversi lahan sawah ke penggunaan nonpertanian seperti kompleks perumahan, kawasan industri, kawasan perdagangan, dan sarana publik bahkan sarana prasarana pendidikan dapat menimbulkan dampak negatif secara ekonomi, sosial, maupun lingkungan. Bagi ketahanan pangan nasional, konversi lahan sawah merupakan ancaman yang serius, mengingat konversi lahan tersebut sulit dihindari sementara dampak yang ditimbulkan terhadap masalah pangan bersifat permanen, kumulatif, dan progresif.  Melalui jurnal ini, para pembaca baik masyarakat umum maupun pemangku kepentingan terkait dapat memahami lebih jauh tentang nilai ekonomi dari adanya konversi lahan pertanian serta dampak yang ditimbulkan dari adanya konversi tersebut.

II.    RINGKASAN

Lahan pertanian adalah lahan yang ditujukan atau cocok untuk dijadikan lahan usaha tani untuk memproduksi tanaman pertanian. Lahan pertanian merupakan salah satu sumber daya utama pada usaha pertanian. Petanian di Indonesia masih menghadapi persoalan-persoalan klasik, yang menjadi dampak berkurangnya lahan pertanian dan permasalahan yang timbul dari tahun ke tahun tidak pernah berubah seperti kelangkaan pupuk, kekeringan, banjir serta anjloknya harga gabah pada musim panen, yang pada akhirnya berdampak pada penghasilan petani itu sendiri. Sebagai jalan keluar karena tidak ada kepedulian para pelaku ekonomi, terjadinya pergeseran struktur ketenagakerjaan dan penguasaan pemilikan lahan pertanian perdesaan serta adanya transformasi struktur ekonomi dari pertanian ke industri dan demografis dari perdesaan ke perkotaan. Tuntutan kebutuhan lahan untuk pengembangan sektor-sektor industri dan jasa, dan dengan perubahan ini mustahil kembali alih fungsi menjadi sawah.
Permasalahan terkait ketersediaan lahan pertanian juga terjadi di Kabupaten Sleman Provinsi Daerah istimewa Yogyakarta. Kondisi urbanisasi yang tinggi juga terjadi di Provinsi Daerah istimewa Yogyakarta, khususnya pada Kabupaten Sleman. Hal tersebut dapat menyebabkan permasalahan terutama di daerah perkotaan baik masalah sosial, ekonomi, maupun lingkungan. Kabupaten Sleman yang sebagian besar wilayahnya merupakan daerah pertanian, dengan adanya perkembangan kota dengan jumlah penduduk yang terus meningkat maka secara langsung juga berdampak pada penurunan luas lahan pertanian. Padahal, sumberdaya lahan pertanian memberikan manfaat yang luas secara ekonomi, sosial, dan lingkungan. Oleh karena itu, hilangnya lahan pertanian akibat dikonversi ke penggunaan nonpertanian akan menimbulkan dampak negatif terhadap berbagai aspek pembangunan.
Tulisan ini ingin menyampaikan bahwa adanya tren konversi lahan pertanian menjadi nonpertanian menunjukkan adanya peningkatan baik di daerah perkotaan maupun bukan. Tingkat konversi “tinggi” terjadi pada wilayah yang secara administrasi berbatasan dengan Kota Yogyakarta. Hasil perhitungan dengan metode TEV diperoleh hasil bahwa pada wilayah Zona 3 memiliki nilai ekonomi usahatani lahan sawah paling tinggi diikuti dengan Zona 2 dan Zona 1. Wilayah zone I meliputi Kecamatan Depok, Gamping, Mlati dan Godean, sedangkan wilayah zone 2 meliputi Kecamatan Berbah, Kalasan, Ngaglik dan Tempel dan yang termasuk dalam wilayah zone 3 adalah 9 kecamatan yaitu Kecamatan Cangkringan, Pakem, Turi, Sleman, Minggir, Moyudan, Seyegan, Prambanan dan Ngemplak.
Konversi lahan pertanian di Kabupaten Sleman mempengaruhi pengurangan produksi hasil komoditi lahan sawah dikarenakan oleh penyempitan luas lahan sawah dan mempengaruhi produktivitas padi dan secara umum mengurangi produksi pangan pada setiap zone wilayah kajian. Konversi lahan pertanian jika tidak dikendalikan secara langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh terhadap kondisi kehidupan masyarakat baik secara sosial maupun lingkungan.
III.    KRITIK DAN SARAN
Latar Belakang
Pada bagian latar belakang, terdapat beberapa bagian yang antara paragraf satu dengan paragraf selanjutnya tidak membentuk satu kesatuan bahasan, sehingga pembaca akan memiliki alur yang bercabang saat pertama kali membaca artikel penelitian ini.
Metode
Metode dan keterangan yang diberikan dalam metode sudah baik. Tiap metode dijabarkan berdasarkan tujuan yang ingin dicapai dari artikel penelitian ini, sehingga pembaca dapat segera memahami langkah apa saja yang peneliti tempuh untuk memperoleh hasil penelitian ini. Hanya saja terdapat kekurangan pada definisi salah satu metode perhitungan ekonomi dengan menggunakan harga bayangan SCF yang baru muncul saat di hasil penelitian.
Hasil dan Pembahasan
Secara umum, hasil dan pembahasan sudah dijelaskan dengan baik oleh peneliti, hanya saja pada bagian hasil dan pembahasan pembagiannya tidak disesuaikan dengan tujuan. Penelitian ini memiliki 3 tujuan, sedangkan hasil dan pembahasan terbagi menjadi 4 kelompok hasil dan pembahasan, sehingga pembaca akan sedikit kebingungan dalam memahami alur penelitian.
Hasil dan pembahasan pada tujuan pertama sudah dijelaskan dengan baik oleh peneliti dimana wilayah penelitian terbagi menjadi 3 zona dan kesemuanya mengalami tren kenaikan luas lahan konersi beserta alasan terjadinya konversi juga dapat dijelaskan dengan baik di setiap zona, sehingga pembaca dapat memeperoleh pengetahuan awal dalam memahami penelitian ini. Dari ketiga zona tersebut, pembaca juga sudah digiring untuk mengetahui desa-desa mana saja di tiap zona yang mengalami tingkat konversi tertinggi dan terendah.
Hasil dan pembahasan pada tujuan kedua dijelaskan setelah peneliti terlebih dahulu menjelaskan mengenai nilai lingkungan lahan pertanian sebelum dan sesudah dikonversi. Tujuan kedua ini diterangkan dalam tabel yang kemudian dideskripsi dengan baik oleh peneliti.
Hasil dan pembahasan pada tujuan ketiga ditampilkan oleh peneliti dalam tabel kemudian diberikan deskripsi singkat dari pembacaan tabel. Akan tetapi, peneliti kurang menjelaskan hasil secara mendalam tentang penyebab mengapa penelitiannya menghasilkan hasil tersebut. Peneliti hanya menerangkan variabel x apa saja yang berpengaruh terhadap variabel y, tetapi tidak menjelaskan kenapa variabel x tersebut berpengaruh terhadap y.
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan pertama dan ketiga sudah sesuai dengan tujuan, tetapi tujuan kedua dirasa kurang sesuai dengan tujuan. Kesimpulan tidak menunjukkan tujuan tentang kajian nilai ekonomi total pertanian kabupaten Sleman seperti yang telah ada pada hasil dan pembahasan.
Secara Umum
Kelebihan dari jurnal ini adalah pengangkatan topik yang bisa pembaca lihat di lingkungan sekitar. Pemilihan judul yang singkat tetapi jelas mampu menarik minat pembaca, data yang digunakan sudah dapat dikatakan mumpuni untuk analisis, metode yang digunakan untuk analisis juga cukup jelas dan rinci, sedangkan kekurangan dari jurnal ini adalah lokasi penelitian yang tidak diterangkan secara jelas dan tidak disertai dengan peta yang memadai. Selain itu, kesimpulan yang diberikan penulis hanya bersifat normatif dan belum konkret. Konkret disini maksudnya adalah bisa atau tidaknya solusi ini diterapkan bukan hanya anjuran bagaimana untuk bertindak secara prinsipil tetapi, lebih ke tindakan-tindakan yang sebaiknya ditempuh oleh pemerintah.
Saran untuk penelitian lebih lanjut dari penelitian ini adalah perlunya penelitian tentang persepsi masyarakat terhadap perlunya lahan pertanian baik secara ekonomi maupun ekologi. Selain itu, perlu pula dilakukan penelitian terkait pemahaman masyarakat terkait upaya konservasi dalam lahan pertanian. Hal tersebut perlu dilakukan karena terdapat beberapa penjelasan dalam penelitian ini terkait alasan masyarakat menjual lahan pertanian mereka yang belum dijelaskan secara mendalam.
IV.     KESIMPULAN
Jurnal ini bermanfaat bagi pembaca baik masyarakat maupun pemangku kepentingan. Penggunaan istilah yang ada dalam jurnal ini juga mudah dipahami oleh masyarakat awam. Adanya beberapa alur penulisan yang kurang runtut di setiap paragraf dan dari latar belakang hingga kesimpulan sedikit menyulitkan pembaca untuk memahami proses penelitian, dan kesimpulan yang dapat ditarik dari jurnal ini adalah bahwa telah terjadi tren adanya konversi lahan pertanian menjadi nonpertanian di Kabupaten Sleman yang jika tidak dikendalikan secara langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh terhadap kondisi kehidupan masyarakat baik secara sosial maupun lingkungan, sehingga kegiatan pembangunan ekonomi dan perlindungan lingkungan harus diselaraskan. Dalam hal ini diperlukan penyatuan kedua sisi pandang tersebut secara realistis melalui penyesuaian kegiatan pengelolaan kawasan pertanian dan konservasi lahan pertanian baik perkotaan maupun sekitar perkotaan melalui fenomena urban sprawl dalam kenyataan-kenyataan ekonomi dan sosial. Inilah tantangan formulasi kebijakan yang harus dituntaskan apabila tujuan pembangunan yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan ingin diwujudkan. Hal terpenting yang perlu diingat adalah perlunya pengelolaan kawasan pertanian secara holistik dalam satu kabupaten tanpa melihat batas administrasi. Oleh karena itu perlu adanya kerjasama antara pemerintah daerah kawasan yang sudah ditetapkan secara daya dukung sebagai suatu kawasan pertanian.
REFERENCE
Suparmoko, 1997. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Pusat Studi Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Nasution LB, Winoto J, 1996. Masalah Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Dampaknya Terhadap Keberlangsungan Swasembada Pangan. Prosiding Lokakarya Persaingan dalam Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan Air: 64-82. Pusat Peneitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian dan Ford Foundation.



MIKROALGA SEBAGAI AGEN SEKUESTRASI KARBON

0 komentar
MIKROALGA SEBAGAI AGEN SEKUESTRASI KARBON


ABSTRAK
Meningkatnya emisi gas rumah kaca terutama karbondioksida (CO2) di atmosfer merupakan penyebab utama terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim yang saat ini menjadi permasalahan dunia. Peningkatan emisi CO2 ini diakibatkan oleh berbagai aktivitas manusia seperti kegiatan transportasi dan industri yang di dalamnya meliputi penggunaan energi dari fosil yang mengasilkan emisi CO2 ke atmosfer. Melihat kondisi tersebut, perlu adanya suatu agen sekuestrasi karbon yang efektif. Mikroalga merupakan mikroorganisme yang berpotensi menjadi solusi permasalahan tersebut karena memiliki kemampuan yang besar dalam menangkap dan menyimpan karbondioksida dari atmosfer dibanding tanaman terestrial. Sistem kultivasi mikroalga pun merupakan sistem kultivasi yang relatif sederhana dan efektif, meliputi dua sistem utama, yaitu  sistem kolam terbuka (open ponds) dan sistem bioreaktor (bioreactors).
Kata kunci: Microalga, sekuestrasi CO2, sistem kultivasi
PENDAHULUAN
Sejak awal revolusi industri, sekitar abad ke-18, pelepasan gas rumah kaca dari aktivitas manusia telah berakibat pada peningkatan konsentrasi karbondioksida di atmosfer sebesar 50% dalam tiga dekade terakhir (Sayre 2010; Singh dan Ahluwalia 2013). Kurva Keleling, hasil dari  penelitian di Hawaii pada Tahun 1985 menunjukkan bahwa adanya peningkatan rata-rata konsentrasi CO2 di atmosfer, yaitu 316 ppm pada Tahun 1959 menjadi 370 ppm pada Tahun 2000 dan 390 ppm pada Tahun 2010 dengan total CO2 global sebesar 48Gt pada Tahun 2010 (Singh dan Ahluwalia 2013). Peningkatan konsentrasi karbondioksida di atsmofer sebagai salah satu unsur dominan gas rumah kaca menjadi pemicu terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim yang terjadi saat ini telah menjadi perhatian dunia (Bilanovic et al. 2009; Cheah et al. 2014; Sayre 2010; Singh dan Ahluwalia 2013). Mikroalga berpotensi menjadi solusi permasalahan tersebut karena memiliki kemampuan yang besar dalam menangkap dan menyimpan karbondioksida dari atmosfer (Bilanovic et al. 2009; Cheah et al. 2014; Sayre 2010; Singh dan Ahluwalia 2013). Kemampuan menangkap dan menyimpan CO2 oleh mikroalga juga lebih tinggi dibanding tanaman kehutanan, pertanian, dan tumbuhan air pada umumnya karena secara umum mikroalga mempunyai kemampuan efisiensi fotosintesis yang lebih tinggi karena kemampuannya yang besar dalam menangkap cahaya matahari dan mengubahnya menjadi energi kimia yang dibutuhkan (Sayre 2010; Singh dan Ahluwalia 2013).
Tujuan dalam penulisan term paper ini adalah untuk mengungkap bahwa mikroalga mempunyai kemampuan yang besar sebagai agen sekuestrasi karbon khusunya karbondioksida sebagai salah satu gas rumah kaca yang menyebabkan pemanasan dan perubahan iklim di dunia (Bilanovic et al. 2009; Cheah et al. 2014; Sayre 2010; Singh dan Ahluwalia 2013).
Beberapa hal yang dibahas dalam term paper ini diantaranya adalah : (1) Potensi mikroalga dalam menangkap dan menyimpan karbondioksida (carbon sequestration) (Bilanovic et al. 2009; Cheah et al. 2014; Sayre 2010; Singh dan Ahluwalia 2013), dan (2) Sistem kultivasi mikroalga (Cheah et al. 2015; Sighn dan Ahluwalia 2013; Kargupta et al. 2015).
PEMBAHASAN
1.        Potensi mikroalga dalam menangkap dan menyimpan karbondioksida (carbon sequestration)
Tingginya emisi gas rumah kaca, terutama CO2 saat ini tidak cukup diatasi hanya dengan penangkapan CO2 tetapi juga harus disimpan dalam waktu yang lama. Penangkapan dan penyimpanan CO2 secara langsung pada dasarnya telah terjadi dalam formasi geologi (Sayre 2010; Singh dan Ahluwalia 2013). Namun, sulit untuk memastikan bahwa karbon yang disimpan akan selamanya disimpan dalam formasi mengingat aktivitas manusia yang dapat menimbulkan bencana. Oleh karena itu, perlu adanya suatu penyimpanan karbon yang memiliki sedikit resiko yaitu dengan mengubah karbon yang disimpan dalam bentuk biomassa (Cheah et al. 2015; Sayre 2010; Singh dan Ahluwalia 2013). Penyimpanan karbon dalam bentuk biomassa dapat dilakukan oleh vegetasi terestrial maupun mikroalga. Penyimpanan karbon oleh vegetasi terestrial memiliki kekurangan antara lain perlunya lahan luas serta dapat menyebabkan konflik dengan manusia terkait ketersediaan pangan serta kebutuhan manusia lainnya, salah satunya kebutuhan akan bahan baku konstruksi (Cheah et al. 2015; Sayre 2010; Singh dan Ahluwalia 2013).
Mikroalga merupakan mikroorganisme uniselular atau multi selular sederhana yang memiliki klorofil, dapat berupa mikroorganisme eukariotik atau prokariotik (Cheah et al. 2015; Singh dan Ahluwalia 2013). Kebutuhan cahaya matahari mikroalga lebih kecil dari tanaman berklorofil lainnya tetapi memiliki produktivitas yang lebih tinggi tinggi (Cheah et al. 2014; Singh dan Ahluwalia 2013). Mikroalga memiliki kemampuan untuk menangkap CO2 dengan efisiensi 10 kali lipat lebih besar dari tanaman darat karena mikroalga tidak perlu mengeluarkan energi untuk membentuk struktur tubuhnya seperti akar, batang,  dan cabang (Cheah et al. 2014; Sayre 2010; Singh dan Ahluwalia 2013). Efisisensi yang tinggi dalam mengkonversi CO2 dan laju pertumbuhan yang tinggi menyebabkan mikroalga dapat menjadi agen sekuestrasi karbon (Bilanovic et al. 2009; Cheah et al. 2015; Singh dan Ahluwalia 2013). Beberapa jenis mikroalga dengan efisiensi fotosisntesis tinggi adalah jenis Chlorella sp., Phaeodactylum tricornutum, dan Tetraselmis suecica (Singh dan Ahluwalia 2013). Sekuestrasi karbon menjadi hal yang penting karena sekuestrasi karbon dapat dikembangkan untuk menurunkan emisi CO2 (Bilanovic et al. 2009; Cheah et al. 2015). Di bawah ini terdapat gambar yang menunjukkan proses produksi CO2, pelepasan di atmosfer, serta kemungkinan sekuestrasi yang terjadi.
Gambar 1. Rantai Sekuestrasi Karbon (Cheah et al. 2014)
Produksi biomassa merupakan indikator utama yang digunakan untuk mengetahui kemampuan mikroalga dalam menyimpan karbon. Untuk mengatasi masalah tingginya emisi CO2 di atmosfer, karbon yang ada tidak cukup hanya dengan ditangkap tetapi juga harus disimpan dalam bentuk biomassa (Cheah et al. 2014; Sayre 2010). Mikroalga adalah “fast growing” mikroorganisme yang mengkonsumsi CO2 untuk memproduksi biomassa. Sumber CO2 disini pada umumnya adalah 1) CO2 di atmosfer, 2) Gas buang industri, dan 3) Bikarbonat (Singh dan Ahluwalia 2013). Produksi biomassa yang tinggi berkaitan erat dengan efisiensi dari proses fotosintesis. Mikroalga sendiri adalah organisme dengan tingkat efisiensi fotosintesis mencapai 80% hingga 99% pada kondisi optimal (Sayre 2010). Selain memiliki tingkat efisiensi fotosistesis yang tinggi, mikroalga, baik mikroalga laut maupun darat mampu menjadi agen sekuestrasi CO2 dalam dengan interval  konsentrasi CO2 dan Nitrogen yang besar dan dalam kekuatan ionik yang tinggi maupun rendah (Bilavonic et al 2010). 

2.        Sistem Kultivasi Mikroalga
Sistem kultivasi adalah salah satu sistem pengembangan mikroalga sebagai agen sekuestrasi yang bertujuan untuk menyediakan kondisi optimal untuk pertumbuhan mikroalga agar produksi biomassa dapat maksimal (Cheah et al. 2014; Singh dan Ahluwalia 2013). Salah satu keuntungan besar pengembangan mikroalga dibanding tanaman pertanian maupun pepohonan adalah banyaknya jenis mikroalga yang memiliki toleransi terhadap salinitas. Minimnya ketersediaan air tawar ditambah dengan 70% air tawar dikonsumsi oleh tanaman pertanian membuat mikroalga memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan sepanjang tahun (Singh dan Ahluwalia 2013). Sistem kultivasi mikroalga pada umumnya meliputi dua sistem utama, yaitu  sistem kolam terbuka (open ponds) dan sistem fotobioreaktor (Photobioreactor) (Cheah et al. 2014; Kargupta et al. 2015; Singh dan Ahluwalia 2013).
Sistem kolam terbuka merupakan sistem kultivasi mikroalga dalam skala besar dengan biaya yang ringan, serta pemeliharan yang mudah (Cheah et al. 2014; Singh dan Ahluwalia 2013). Perbandingan luas area per volume yang tinggi pada sistem kolam terbuka menghasilkan mitigasi CO2 yang tinggi pula (Cheah et al. 2014). Di sisi lain, sistem ini juga mempunyai kekurangan, yaitu perlunya area yang luas, lokasi terbuka sehingga mengalami evaporasi akut, dan penggunaan karbon dioksida (CO2) menjadi tidak efisien. Produktivitas mikroalga juga dibatasi oleh kontaminasi dari alga atau mikroorganisme yang tidak diinginkan. (Cheah et al. 2014; Sayre 2010; Singh dan Ahluwalia 2013). Selain sistem kolam terbuka, terdapat pula sistem bioreaktor, salah satunya dengan sistem fotobioreaktor. Fotobioreaktor dikembangkan untuk mengatasi permasalahan kontaminasi dan evaporasi yang sering terjadi dalam sistem open pond. Sistem tersebut terbuat dari material tembus pandang dan umumnya diletakkan di lapangan terbuka untuk mendapatkan cahaya matahari. Pada dasarnya, photobioreactor terdapat dalam 2 jenis, plate dan tubular (Cheah et al. 2014). Fotobioreaktor tubular lebih sesuai digunakan di lapangan terbuka.Sistem ini banyak dilakukan dan diteliti karena faktor fisiko-kimia yang ada dapat dikotrol sehingga produktivitas biomassa yang dihasilkan sangat tinggi atau dengan kata lain efisiensi fiksasi CO2 dapat ditingkatkan secara signifikan (Cheah et al. 2014; Singh dan Ahluwalia 2013). Akan tetapi, Sayre (2010) melaporkan bahwa penangkapan karbondioksida (CO2) dalam bentuk bikarbonat di kolam terbuka memiliki efisiensi yang lebih tinggi dibanding bioreaktor yaitu sebesar 90%.  Tabel di bawah ini menunjukkan perbandingan antara sistem kolam terbuka dan fotobioreaktor.
Tabel 1. Perbandingan kolam terbuka (open ponds) dan sistem fotobioreaktor (Photobioreactor)
No
Faktor
Kolam Terbuka
Fotobioindikator
1
Ruang yang dibutuhkan
Tinggi
Rendah
2
Evaporasi
Tinggi
Tidak ada
3
Kehilangan air
Sangat tinggi
Rendah
4
Kehilangan CO2
Tinggi
Rendah
5
Suhu
Bervariasi
Membutuhkan pendinginan
6
Pembersihan
Tidak Perlu
Perlu
7
Kualitas Biomassa
Bervariasi
Tergantung produksi
8
Biaya pemanenan
Tinggi
Rendah
9
Investasi
Rendah
Tinggi
10
Jenis Alga
Tertentu
Bebas
11
Kontaminasi
Tinggi
Rendah
Sumber: Cheah et al. 2014; Sayre 2010; Singh dan Ahluwalia 2013
Beberapa jenis mikroalga Penelitian Kargupta et al. (2015) tentang kemampuan dua jenis mikroalga (Chlorella pyrenoidosa dan Scenedesmus abundans) dalam menangkap dan menyimpan CO2 dalam sistem kultivasi fotobioreaktor menunjukkan bahwa Chlorella pyrenoidosa mampu menangkap dan menyimpan CO2 lebih efektif dibanding Scenedesmus abundans. Teknik yang banyak diaplikasikan untuk proses pemanenan mikroalga adalah flokulasi, sentrifugasi, dan filtrasi  dan teknik filtrasi adalah metode pemanenan yang terbukti paling kompetitif dibandingkan dengan teknik pemanenan yang lain (Singh dan Ahluwalia 2013).
KESIMPULAN
1.        Penangkapan dan penyimpanan karbon menggunakan mikroalga adalah salah satu solusi yang efektif dalam menyelesaikan permasalahan tingginya CO2 sebagai salah satu komponen gas rumah kaca penyebab pemanasan lobal dan perubahan iklim (Bilanovic et al. 2009; Cheah et al. 2014; Kargupta et al. 2015; Sayre 2010; Singh dan Ahluwalia 2013). Mikroalga memiliki potensi yang besar sebagai agen sekuestrasi karbon dibanding vegetasi hutan maupun jenis lain. Hal tersebut dikarenakan mikroalga mempunyai kemampuan untuk bertumbuh lebih cepat, efisiensi fotosintesis yang lebih tinggi, serta memiliki nilai tambah sebagai produk komersial (Cheah et al. 2014; Sayre 2010; Singh dan Ahluwalia 2013).
2.        Sistem kultivasi dan teknik pemanenan merupakan faktor yang paling penting dalam menghasilkan biomasa mikroalga dengan kuntitas dan kualitas tinggi serta ekonomis. Sistem kultivasi mikroalga secara umum terbagi menjadi dua sistem uatama, yaitu  sistem kolam terbuka (open ponds) dan sistem fotobioreaktor (Photobioreactor). Tiap sistem memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Sistem kolam terbuka mempunyai kekurangan, yaitu perlunya area yang luas, evaporasi akut, dan adanya resiko kontaminasi. (Cheah et al. 2014; Sayre 2010; Singh dan Ahluwalia 2013). Fotobioreaktor dikembangkan untuk mengatasi permasalahan kontaminasi dan evaporasi yang sering terjadi dalam sistem kolam terbuka.

DAFTAR ACUAN
Bilanovic, D., A. Andargatchew, T. Kroeger, and G. Shelef. 2009. Freshwater and marine microalgae sequestering of CO2 at different C and N concentrations – Response surface methodology analysis. Energy Conversion and Management 50: 262-267.
Cheah, W. Y., P. L.Show, J. S. Chang, T. C. Ling, and J. C. Juan. 2014. Biosequestration of atmospheric CO2 and flue gas-containing CO2 by microalgae. Bioresource Technology 184: 190 –201.
Kargupta, W., A. Ganesh, and S. Mukherji. 2015. Estimation of carbon dioxide sequestration potential of microalgae grown in a batch photobioreactor. Bioresource Technology 180: 370-375.
Sayre, R. 2010. Microalgae: The Potential for Carbon Capture. BioScience 60: 722–727.

Singh, U. B., and A. S. Ahluwalia. 2013. Microalgae: A promising tool for carbon sequestration. Mitigation and Adaptation Strategies for Global Change 18: 73–95.
 

Little Forester Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template