Kamis, 24 Desember 2015

MIKROALGA SEBAGAI AGEN SEKUESTRASI KARBON

MIKROALGA SEBAGAI AGEN SEKUESTRASI KARBON


ABSTRAK
Meningkatnya emisi gas rumah kaca terutama karbondioksida (CO2) di atmosfer merupakan penyebab utama terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim yang saat ini menjadi permasalahan dunia. Peningkatan emisi CO2 ini diakibatkan oleh berbagai aktivitas manusia seperti kegiatan transportasi dan industri yang di dalamnya meliputi penggunaan energi dari fosil yang mengasilkan emisi CO2 ke atmosfer. Melihat kondisi tersebut, perlu adanya suatu agen sekuestrasi karbon yang efektif. Mikroalga merupakan mikroorganisme yang berpotensi menjadi solusi permasalahan tersebut karena memiliki kemampuan yang besar dalam menangkap dan menyimpan karbondioksida dari atmosfer dibanding tanaman terestrial. Sistem kultivasi mikroalga pun merupakan sistem kultivasi yang relatif sederhana dan efektif, meliputi dua sistem utama, yaitu  sistem kolam terbuka (open ponds) dan sistem bioreaktor (bioreactors).
Kata kunci: Microalga, sekuestrasi CO2, sistem kultivasi
PENDAHULUAN
Sejak awal revolusi industri, sekitar abad ke-18, pelepasan gas rumah kaca dari aktivitas manusia telah berakibat pada peningkatan konsentrasi karbondioksida di atmosfer sebesar 50% dalam tiga dekade terakhir (Sayre 2010; Singh dan Ahluwalia 2013). Kurva Keleling, hasil dari  penelitian di Hawaii pada Tahun 1985 menunjukkan bahwa adanya peningkatan rata-rata konsentrasi CO2 di atmosfer, yaitu 316 ppm pada Tahun 1959 menjadi 370 ppm pada Tahun 2000 dan 390 ppm pada Tahun 2010 dengan total CO2 global sebesar 48Gt pada Tahun 2010 (Singh dan Ahluwalia 2013). Peningkatan konsentrasi karbondioksida di atsmofer sebagai salah satu unsur dominan gas rumah kaca menjadi pemicu terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim yang terjadi saat ini telah menjadi perhatian dunia (Bilanovic et al. 2009; Cheah et al. 2014; Sayre 2010; Singh dan Ahluwalia 2013). Mikroalga berpotensi menjadi solusi permasalahan tersebut karena memiliki kemampuan yang besar dalam menangkap dan menyimpan karbondioksida dari atmosfer (Bilanovic et al. 2009; Cheah et al. 2014; Sayre 2010; Singh dan Ahluwalia 2013). Kemampuan menangkap dan menyimpan CO2 oleh mikroalga juga lebih tinggi dibanding tanaman kehutanan, pertanian, dan tumbuhan air pada umumnya karena secara umum mikroalga mempunyai kemampuan efisiensi fotosintesis yang lebih tinggi karena kemampuannya yang besar dalam menangkap cahaya matahari dan mengubahnya menjadi energi kimia yang dibutuhkan (Sayre 2010; Singh dan Ahluwalia 2013).
Tujuan dalam penulisan term paper ini adalah untuk mengungkap bahwa mikroalga mempunyai kemampuan yang besar sebagai agen sekuestrasi karbon khusunya karbondioksida sebagai salah satu gas rumah kaca yang menyebabkan pemanasan dan perubahan iklim di dunia (Bilanovic et al. 2009; Cheah et al. 2014; Sayre 2010; Singh dan Ahluwalia 2013).
Beberapa hal yang dibahas dalam term paper ini diantaranya adalah : (1) Potensi mikroalga dalam menangkap dan menyimpan karbondioksida (carbon sequestration) (Bilanovic et al. 2009; Cheah et al. 2014; Sayre 2010; Singh dan Ahluwalia 2013), dan (2) Sistem kultivasi mikroalga (Cheah et al. 2015; Sighn dan Ahluwalia 2013; Kargupta et al. 2015).
PEMBAHASAN
1.        Potensi mikroalga dalam menangkap dan menyimpan karbondioksida (carbon sequestration)
Tingginya emisi gas rumah kaca, terutama CO2 saat ini tidak cukup diatasi hanya dengan penangkapan CO2 tetapi juga harus disimpan dalam waktu yang lama. Penangkapan dan penyimpanan CO2 secara langsung pada dasarnya telah terjadi dalam formasi geologi (Sayre 2010; Singh dan Ahluwalia 2013). Namun, sulit untuk memastikan bahwa karbon yang disimpan akan selamanya disimpan dalam formasi mengingat aktivitas manusia yang dapat menimbulkan bencana. Oleh karena itu, perlu adanya suatu penyimpanan karbon yang memiliki sedikit resiko yaitu dengan mengubah karbon yang disimpan dalam bentuk biomassa (Cheah et al. 2015; Sayre 2010; Singh dan Ahluwalia 2013). Penyimpanan karbon dalam bentuk biomassa dapat dilakukan oleh vegetasi terestrial maupun mikroalga. Penyimpanan karbon oleh vegetasi terestrial memiliki kekurangan antara lain perlunya lahan luas serta dapat menyebabkan konflik dengan manusia terkait ketersediaan pangan serta kebutuhan manusia lainnya, salah satunya kebutuhan akan bahan baku konstruksi (Cheah et al. 2015; Sayre 2010; Singh dan Ahluwalia 2013).
Mikroalga merupakan mikroorganisme uniselular atau multi selular sederhana yang memiliki klorofil, dapat berupa mikroorganisme eukariotik atau prokariotik (Cheah et al. 2015; Singh dan Ahluwalia 2013). Kebutuhan cahaya matahari mikroalga lebih kecil dari tanaman berklorofil lainnya tetapi memiliki produktivitas yang lebih tinggi tinggi (Cheah et al. 2014; Singh dan Ahluwalia 2013). Mikroalga memiliki kemampuan untuk menangkap CO2 dengan efisiensi 10 kali lipat lebih besar dari tanaman darat karena mikroalga tidak perlu mengeluarkan energi untuk membentuk struktur tubuhnya seperti akar, batang,  dan cabang (Cheah et al. 2014; Sayre 2010; Singh dan Ahluwalia 2013). Efisisensi yang tinggi dalam mengkonversi CO2 dan laju pertumbuhan yang tinggi menyebabkan mikroalga dapat menjadi agen sekuestrasi karbon (Bilanovic et al. 2009; Cheah et al. 2015; Singh dan Ahluwalia 2013). Beberapa jenis mikroalga dengan efisiensi fotosisntesis tinggi adalah jenis Chlorella sp., Phaeodactylum tricornutum, dan Tetraselmis suecica (Singh dan Ahluwalia 2013). Sekuestrasi karbon menjadi hal yang penting karena sekuestrasi karbon dapat dikembangkan untuk menurunkan emisi CO2 (Bilanovic et al. 2009; Cheah et al. 2015). Di bawah ini terdapat gambar yang menunjukkan proses produksi CO2, pelepasan di atmosfer, serta kemungkinan sekuestrasi yang terjadi.
Gambar 1. Rantai Sekuestrasi Karbon (Cheah et al. 2014)
Produksi biomassa merupakan indikator utama yang digunakan untuk mengetahui kemampuan mikroalga dalam menyimpan karbon. Untuk mengatasi masalah tingginya emisi CO2 di atmosfer, karbon yang ada tidak cukup hanya dengan ditangkap tetapi juga harus disimpan dalam bentuk biomassa (Cheah et al. 2014; Sayre 2010). Mikroalga adalah “fast growing” mikroorganisme yang mengkonsumsi CO2 untuk memproduksi biomassa. Sumber CO2 disini pada umumnya adalah 1) CO2 di atmosfer, 2) Gas buang industri, dan 3) Bikarbonat (Singh dan Ahluwalia 2013). Produksi biomassa yang tinggi berkaitan erat dengan efisiensi dari proses fotosintesis. Mikroalga sendiri adalah organisme dengan tingkat efisiensi fotosintesis mencapai 80% hingga 99% pada kondisi optimal (Sayre 2010). Selain memiliki tingkat efisiensi fotosistesis yang tinggi, mikroalga, baik mikroalga laut maupun darat mampu menjadi agen sekuestrasi CO2 dalam dengan interval  konsentrasi CO2 dan Nitrogen yang besar dan dalam kekuatan ionik yang tinggi maupun rendah (Bilavonic et al 2010). 

2.        Sistem Kultivasi Mikroalga
Sistem kultivasi adalah salah satu sistem pengembangan mikroalga sebagai agen sekuestrasi yang bertujuan untuk menyediakan kondisi optimal untuk pertumbuhan mikroalga agar produksi biomassa dapat maksimal (Cheah et al. 2014; Singh dan Ahluwalia 2013). Salah satu keuntungan besar pengembangan mikroalga dibanding tanaman pertanian maupun pepohonan adalah banyaknya jenis mikroalga yang memiliki toleransi terhadap salinitas. Minimnya ketersediaan air tawar ditambah dengan 70% air tawar dikonsumsi oleh tanaman pertanian membuat mikroalga memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan sepanjang tahun (Singh dan Ahluwalia 2013). Sistem kultivasi mikroalga pada umumnya meliputi dua sistem utama, yaitu  sistem kolam terbuka (open ponds) dan sistem fotobioreaktor (Photobioreactor) (Cheah et al. 2014; Kargupta et al. 2015; Singh dan Ahluwalia 2013).
Sistem kolam terbuka merupakan sistem kultivasi mikroalga dalam skala besar dengan biaya yang ringan, serta pemeliharan yang mudah (Cheah et al. 2014; Singh dan Ahluwalia 2013). Perbandingan luas area per volume yang tinggi pada sistem kolam terbuka menghasilkan mitigasi CO2 yang tinggi pula (Cheah et al. 2014). Di sisi lain, sistem ini juga mempunyai kekurangan, yaitu perlunya area yang luas, lokasi terbuka sehingga mengalami evaporasi akut, dan penggunaan karbon dioksida (CO2) menjadi tidak efisien. Produktivitas mikroalga juga dibatasi oleh kontaminasi dari alga atau mikroorganisme yang tidak diinginkan. (Cheah et al. 2014; Sayre 2010; Singh dan Ahluwalia 2013). Selain sistem kolam terbuka, terdapat pula sistem bioreaktor, salah satunya dengan sistem fotobioreaktor. Fotobioreaktor dikembangkan untuk mengatasi permasalahan kontaminasi dan evaporasi yang sering terjadi dalam sistem open pond. Sistem tersebut terbuat dari material tembus pandang dan umumnya diletakkan di lapangan terbuka untuk mendapatkan cahaya matahari. Pada dasarnya, photobioreactor terdapat dalam 2 jenis, plate dan tubular (Cheah et al. 2014). Fotobioreaktor tubular lebih sesuai digunakan di lapangan terbuka.Sistem ini banyak dilakukan dan diteliti karena faktor fisiko-kimia yang ada dapat dikotrol sehingga produktivitas biomassa yang dihasilkan sangat tinggi atau dengan kata lain efisiensi fiksasi CO2 dapat ditingkatkan secara signifikan (Cheah et al. 2014; Singh dan Ahluwalia 2013). Akan tetapi, Sayre (2010) melaporkan bahwa penangkapan karbondioksida (CO2) dalam bentuk bikarbonat di kolam terbuka memiliki efisiensi yang lebih tinggi dibanding bioreaktor yaitu sebesar 90%.  Tabel di bawah ini menunjukkan perbandingan antara sistem kolam terbuka dan fotobioreaktor.
Tabel 1. Perbandingan kolam terbuka (open ponds) dan sistem fotobioreaktor (Photobioreactor)
No
Faktor
Kolam Terbuka
Fotobioindikator
1
Ruang yang dibutuhkan
Tinggi
Rendah
2
Evaporasi
Tinggi
Tidak ada
3
Kehilangan air
Sangat tinggi
Rendah
4
Kehilangan CO2
Tinggi
Rendah
5
Suhu
Bervariasi
Membutuhkan pendinginan
6
Pembersihan
Tidak Perlu
Perlu
7
Kualitas Biomassa
Bervariasi
Tergantung produksi
8
Biaya pemanenan
Tinggi
Rendah
9
Investasi
Rendah
Tinggi
10
Jenis Alga
Tertentu
Bebas
11
Kontaminasi
Tinggi
Rendah
Sumber: Cheah et al. 2014; Sayre 2010; Singh dan Ahluwalia 2013
Beberapa jenis mikroalga Penelitian Kargupta et al. (2015) tentang kemampuan dua jenis mikroalga (Chlorella pyrenoidosa dan Scenedesmus abundans) dalam menangkap dan menyimpan CO2 dalam sistem kultivasi fotobioreaktor menunjukkan bahwa Chlorella pyrenoidosa mampu menangkap dan menyimpan CO2 lebih efektif dibanding Scenedesmus abundans. Teknik yang banyak diaplikasikan untuk proses pemanenan mikroalga adalah flokulasi, sentrifugasi, dan filtrasi  dan teknik filtrasi adalah metode pemanenan yang terbukti paling kompetitif dibandingkan dengan teknik pemanenan yang lain (Singh dan Ahluwalia 2013).
KESIMPULAN
1.        Penangkapan dan penyimpanan karbon menggunakan mikroalga adalah salah satu solusi yang efektif dalam menyelesaikan permasalahan tingginya CO2 sebagai salah satu komponen gas rumah kaca penyebab pemanasan lobal dan perubahan iklim (Bilanovic et al. 2009; Cheah et al. 2014; Kargupta et al. 2015; Sayre 2010; Singh dan Ahluwalia 2013). Mikroalga memiliki potensi yang besar sebagai agen sekuestrasi karbon dibanding vegetasi hutan maupun jenis lain. Hal tersebut dikarenakan mikroalga mempunyai kemampuan untuk bertumbuh lebih cepat, efisiensi fotosintesis yang lebih tinggi, serta memiliki nilai tambah sebagai produk komersial (Cheah et al. 2014; Sayre 2010; Singh dan Ahluwalia 2013).
2.        Sistem kultivasi dan teknik pemanenan merupakan faktor yang paling penting dalam menghasilkan biomasa mikroalga dengan kuntitas dan kualitas tinggi serta ekonomis. Sistem kultivasi mikroalga secara umum terbagi menjadi dua sistem uatama, yaitu  sistem kolam terbuka (open ponds) dan sistem fotobioreaktor (Photobioreactor). Tiap sistem memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Sistem kolam terbuka mempunyai kekurangan, yaitu perlunya area yang luas, evaporasi akut, dan adanya resiko kontaminasi. (Cheah et al. 2014; Sayre 2010; Singh dan Ahluwalia 2013). Fotobioreaktor dikembangkan untuk mengatasi permasalahan kontaminasi dan evaporasi yang sering terjadi dalam sistem kolam terbuka.

DAFTAR ACUAN
Bilanovic, D., A. Andargatchew, T. Kroeger, and G. Shelef. 2009. Freshwater and marine microalgae sequestering of CO2 at different C and N concentrations – Response surface methodology analysis. Energy Conversion and Management 50: 262-267.
Cheah, W. Y., P. L.Show, J. S. Chang, T. C. Ling, and J. C. Juan. 2014. Biosequestration of atmospheric CO2 and flue gas-containing CO2 by microalgae. Bioresource Technology 184: 190 –201.
Kargupta, W., A. Ganesh, and S. Mukherji. 2015. Estimation of carbon dioxide sequestration potential of microalgae grown in a batch photobioreactor. Bioresource Technology 180: 370-375.
Sayre, R. 2010. Microalgae: The Potential for Carbon Capture. BioScience 60: 722–727.

Singh, U. B., and A. S. Ahluwalia. 2013. Microalgae: A promising tool for carbon sequestration. Mitigation and Adaptation Strategies for Global Change 18: 73–95.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Little Forester Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template