Kamis, 24 Desember 2015
CRITICAL REVIEW- EKONOMI LINGKUNGAN - ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN-KONVERSI
|
CRITICAL REVIEW
NILAI
EKONOMI TOTAL KONVERSI LAHAN PERTANIAN DI KABUPATEN
SLEMAN
(Total
Economic Value of the Land Agricultural Conversion in Slemsn Regency)
Rika
Harini*,
Hadi Sabari Yunus*,
Kasto*, Slamet
Hartono**
*
Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada
**Fakultas
Pertanian Universitas Gadjah Mada
|
I. PENDAHULUAN
|
Artikel berjudul Nilai Ekonomi Total Konversi Lahan Pertanian Di Kabupaten Sleman yang ditulis
oleh Rika Harini, Hadi Sabari Yunus, Kasto, dan Slamet
Hartono, dosen Fakultas Geografi dan Pertanian Universitas Gadjah Mada dan di publikasi dalam Jurnal Manusia dan Lingkungan, Vol. 20, No.1,
Maret. 2013: 34-46 ini membahas tentang permasalahan adanya konversi lahan pertanian dengan pendekatan nilai ekonomi total (Total Economic Value-TEV). Jurnal dengan bahasan berupa akibat adanya suatu konversi lahan pertanian ini
mencoba menggambarkan seberapa luas konversi lahan pertanian menjadi nonpertanian yang telah
terjadi di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta dan nilai ekonomi
akibat adanya konversi tersebut, serta dampak konversi lahan pertanian
tersebut.
Jurnal ini dapat dikatakan sesuai dengan kondisi
lingkungan yang ada saat ini dimana banyak terjadi
konversi lahan pertanian yang massif terutama di daerah perkotaan akibat
semakin meningkatnya jumlah penduduk baik melalui angka kelahiran maupun
akibat arus urbanisasi. Konversi lahan sawah ke penggunaan nonpertanian
seperti kompleks perumahan, kawasan industri, kawasan perdagangan, dan sarana
publik bahkan sarana prasarana pendidikan dapat menimbulkan dampak negatif
secara ekonomi, sosial, maupun lingkungan. Bagi ketahanan pangan nasional,
konversi lahan sawah merupakan ancaman yang serius, mengingat konversi lahan
tersebut sulit dihindari sementara dampak yang ditimbulkan terhadap masalah
pangan bersifat permanen, kumulatif, dan progresif. Melalui
jurnal ini, para pembaca baik masyarakat umum maupun pemangku kepentingan
terkait dapat memahami lebih jauh tentang nilai ekonomi dari adanya konversi lahan
pertanian serta dampak yang ditimbulkan dari adanya konversi tersebut.
|
II. RINGKASAN
|
Lahan
pertanian adalah lahan yang ditujukan atau cocok untuk dijadikan lahan usaha
tani untuk memproduksi tanaman pertanian. Lahan pertanian merupakan salah
satu sumber daya utama pada usaha pertanian. Petanian di Indonesia masih menghadapi
persoalan-persoalan klasik, yang menjadi dampak berkurangnya lahan pertanian dan permasalahan yang timbul dari tahun ke tahun
tidak pernah berubah seperti kelangkaan pupuk, kekeringan, banjir serta anjloknya harga gabah pada musim panen, yang pada akhirnya berdampak pada
penghasilan petani itu sendiri. Sebagai jalan keluar karena tidak ada
kepedulian para pelaku ekonomi, terjadinya pergeseran struktur
ketenagakerjaan dan penguasaan pemilikan lahan pertanian perdesaan serta
adanya transformasi struktur ekonomi dari pertanian ke industri dan
demografis dari perdesaan ke perkotaan. Tuntutan kebutuhan lahan untuk pengembangan sektor-sektor industri dan jasa, dan dengan perubahan
ini mustahil kembali alih fungsi menjadi sawah.
Permasalahan terkait ketersediaan lahan pertanian juga terjadi di
Kabupaten Sleman Provinsi Daerah istimewa Yogyakarta. Kondisi urbanisasi yang tinggi juga terjadi di
Provinsi Daerah
istimewa Yogyakarta, khususnya pada Kabupaten Sleman. Hal tersebut dapat
menyebabkan permasalahan
terutama di daerah perkotaan baik masalah sosial, ekonomi,
maupun lingkungan. Kabupaten Sleman yang sebagian besar wilayahnya merupakan
daerah pertanian, dengan adanya perkembangan kota dengan jumlah penduduk yang
terus meningkat maka secara langsung juga berdampak pada penurunan luas lahan
pertanian.
Padahal, sumberdaya
lahan pertanian memberikan manfaat yang luas secara ekonomi, sosial, dan lingkungan. Oleh karena itu, hilangnya lahan pertanian akibat dikonversi ke
penggunaan nonpertanian akan menimbulkan dampak negatif terhadap berbagai
aspek pembangunan.
Tulisan
ini ingin menyampaikan bahwa adanya tren konversi lahan pertanian menjadi nonpertanian menunjukkan adanya
peningkatan baik di daerah perkotaan maupun bukan. Tingkat konversi “tinggi” terjadi pada wilayah yang secara administrasi berbatasan
dengan Kota Yogyakarta. Hasil perhitungan dengan metode TEV diperoleh hasil bahwa pada wilayah Zona 3 memiliki nilai ekonomi usahatani lahan sawah paling tinggi diikuti dengan
Zona 2 dan Zona 1. Wilayah zone I meliputi Kecamatan Depok, Gamping,
Mlati dan Godean, sedangkan wilayah zone 2 meliputi Kecamatan Berbah,
Kalasan, Ngaglik dan Tempel dan yang termasuk dalam wilayah zone 3 adalah 9
kecamatan yaitu Kecamatan Cangkringan, Pakem, Turi, Sleman, Minggir, Moyudan,
Seyegan, Prambanan dan Ngemplak.
Konversi lahan pertanian di Kabupaten Sleman mempengaruhi pengurangan
produksi hasil komoditi lahan sawah dikarenakan oleh penyempitan luas lahan
sawah dan mempengaruhi produktivitas padi dan secara umum mengurangi produksi
pangan pada setiap zone wilayah kajian. Konversi lahan pertanian jika tidak
dikendalikan secara langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh terhadap
kondisi kehidupan masyarakat baik secara sosial maupun lingkungan.
|
III. KRITIK DAN SARAN
|
Latar
Belakang
|
Pada bagian latar belakang, terdapat beberapa bagian yang antara paragraf
satu dengan paragraf selanjutnya tidak membentuk satu kesatuan bahasan,
sehingga pembaca akan memiliki alur yang bercabang saat pertama kali membaca
artikel penelitian ini.
|
Metode
|
Metode dan keterangan yang diberikan dalam metode sudah baik. Tiap
metode dijabarkan berdasarkan tujuan yang ingin dicapai dari artikel penelitian
ini, sehingga pembaca dapat segera memahami langkah apa saja yang peneliti
tempuh untuk memperoleh hasil penelitian ini. Hanya saja terdapat kekurangan
pada definisi salah satu metode perhitungan ekonomi dengan menggunakan harga
bayangan SCF yang baru muncul saat di hasil penelitian.
|
Hasil dan
Pembahasan
|
Secara umum, hasil dan pembahasan sudah dijelaskan dengan baik oleh
peneliti, hanya saja pada bagian hasil dan pembahasan pembagiannya tidak
disesuaikan dengan tujuan. Penelitian ini memiliki 3 tujuan, sedangkan hasil
dan pembahasan terbagi menjadi 4 kelompok hasil dan pembahasan, sehingga
pembaca akan sedikit kebingungan dalam memahami alur penelitian.
Hasil dan pembahasan pada tujuan pertama sudah dijelaskan dengan baik
oleh peneliti dimana wilayah penelitian terbagi menjadi 3 zona dan kesemuanya
mengalami tren kenaikan luas lahan konersi beserta alasan terjadinya konversi
juga dapat dijelaskan dengan baik di setiap zona, sehingga pembaca dapat
memeperoleh pengetahuan awal dalam memahami penelitian ini. Dari ketiga zona
tersebut, pembaca juga sudah digiring untuk mengetahui desa-desa mana saja di
tiap zona yang mengalami tingkat konversi tertinggi dan terendah.
Hasil dan pembahasan pada tujuan kedua dijelaskan setelah peneliti
terlebih dahulu menjelaskan mengenai nilai lingkungan lahan pertanian sebelum
dan sesudah dikonversi. Tujuan kedua ini diterangkan dalam tabel yang
kemudian dideskripsi dengan baik oleh peneliti.
Hasil dan pembahasan pada tujuan ketiga ditampilkan oleh peneliti dalam
tabel kemudian diberikan deskripsi singkat dari pembacaan tabel. Akan tetapi,
peneliti kurang menjelaskan hasil secara mendalam tentang penyebab mengapa
penelitiannya menghasilkan hasil tersebut. Peneliti hanya menerangkan
variabel x apa saja yang berpengaruh terhadap variabel y, tetapi tidak
menjelaskan kenapa variabel x tersebut berpengaruh terhadap y.
|
Kesimpulan
dan Saran
|
Kesimpulan pertama dan ketiga sudah sesuai dengan tujuan, tetapi tujuan
kedua dirasa kurang sesuai dengan tujuan. Kesimpulan tidak menunjukkan tujuan
tentang kajian nilai ekonomi total pertanian kabupaten Sleman seperti yang
telah ada pada hasil dan pembahasan.
|
Secara
Umum
|
Kelebihan
dari jurnal ini adalah pengangkatan topik yang bisa pembaca lihat di
lingkungan sekitar. Pemilihan judul yang singkat tetapi jelas mampu menarik
minat pembaca, data yang
digunakan sudah
dapat dikatakan mumpuni untuk analisis, metode yang digunakan untuk analisis juga cukup jelas dan rinci, sedangkan kekurangan dari jurnal
ini adalah lokasi penelitian yang tidak diterangkan secara jelas dan tidak disertai dengan peta yang
memadai. Selain itu, kesimpulan
yang diberikan penulis hanya bersifat normatif dan belum konkret. Konkret disini maksudnya adalah bisa atau tidaknya
solusi ini diterapkan bukan hanya anjuran bagaimana untuk bertindak secara
prinsipil tetapi, lebih ke tindakan-tindakan yang sebaiknya ditempuh oleh
pemerintah.
Saran untuk penelitian lebih lanjut dari penelitian ini adalah perlunya
penelitian tentang persepsi masyarakat terhadap perlunya lahan pertanian baik
secara ekonomi maupun ekologi. Selain itu, perlu pula dilakukan penelitian
terkait pemahaman masyarakat terkait upaya konservasi dalam lahan pertanian.
Hal tersebut perlu dilakukan karena terdapat beberapa penjelasan dalam
penelitian ini terkait alasan masyarakat menjual lahan pertanian mereka yang
belum dijelaskan secara mendalam.
|
IV. KESIMPULAN
|
Jurnal ini bermanfaat bagi
pembaca baik masyarakat maupun pemangku kepentingan. Penggunaan istilah yang
ada dalam jurnal ini juga mudah dipahami oleh masyarakat awam. Adanya
beberapa alur penulisan yang kurang runtut di setiap paragraf dan dari
latar belakang hingga kesimpulan sedikit menyulitkan pembaca untuk memahami proses
penelitian, dan kesimpulan yang dapat ditarik dari jurnal
ini adalah bahwa telah terjadi tren adanya konversi lahan pertanian menjadi nonpertanian
di Kabupaten Sleman yang jika tidak dikendalikan secara langsung maupun tidak langsung akan
berpengaruh terhadap kondisi kehidupan masyarakat baik secara sosial maupun
lingkungan,
sehingga kegiatan pembangunan ekonomi dan perlindungan lingkungan harus
diselaraskan. Dalam hal ini diperlukan penyatuan kedua sisi pandang tersebut
secara realistis melalui penyesuaian kegiatan pengelolaan kawasan
pertanian dan konservasi lahan pertanian baik perkotaan maupun sekitar
perkotaan melalui fenomena urban sprawl dalam kenyataan-kenyataan
ekonomi dan sosial. Inilah tantangan formulasi kebijakan yang harus
dituntaskan apabila tujuan pembangunan yang berwawasan lingkungan dan
berkelanjutan ingin diwujudkan. Hal terpenting yang perlu diingat adalah
perlunya pengelolaan kawasan pertanian secara holistik dalam satu
kabupaten tanpa melihat batas administrasi. Oleh karena itu perlu adanya
kerjasama antara pemerintah daerah kawasan yang sudah ditetapkan
secara daya dukung sebagai suatu kawasan pertanian.
|
REFERENCE
|
Suparmoko, 1997. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan.
Pusat Studi Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Nasution LB, Winoto J, 1996. Masalah Alih Fungsi
Lahan Pertanian dan Dampaknya Terhadap Keberlangsungan Swasembada Pangan. Prosiding Lokakarya Persaingan dalam
Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan Air: 64-82. Pusat Peneitian dan
Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian dan Ford Foundation.
|
MIKROALGA SEBAGAI AGEN SEKUESTRASI KARBON
MIKROALGA
SEBAGAI AGEN SEKUESTRASI KARBON
ABSTRAK
Meningkatnya emisi gas rumah kaca terutama karbondioksida (CO2)
di atmosfer merupakan penyebab utama terjadinya pemanasan global dan perubahan
iklim yang saat ini menjadi permasalahan dunia. Peningkatan emisi CO2
ini diakibatkan oleh berbagai aktivitas manusia seperti kegiatan transportasi
dan industri yang di dalamnya meliputi penggunaan energi dari fosil yang
mengasilkan emisi CO2 ke atmosfer. Melihat kondisi tersebut, perlu
adanya suatu agen sekuestrasi karbon yang efektif. Mikroalga merupakan
mikroorganisme yang berpotensi menjadi solusi permasalahan tersebut karena
memiliki kemampuan yang besar dalam menangkap dan menyimpan karbondioksida dari
atmosfer dibanding tanaman terestrial. Sistem kultivasi mikroalga pun merupakan
sistem kultivasi yang relatif sederhana dan efektif, meliputi dua sistem utama,
yaitu sistem kolam terbuka (open ponds) dan sistem bioreaktor (bioreactors).
Kata kunci:
Microalga, sekuestrasi CO2, sistem kultivasi
PENDAHULUAN
Sejak awal revolusi industri, sekitar abad ke-18,
pelepasan gas rumah kaca dari aktivitas manusia telah berakibat pada
peningkatan konsentrasi karbondioksida di atmosfer sebesar 50% dalam tiga
dekade terakhir (Sayre 2010; Singh dan Ahluwalia 2013). Kurva
Keleling, hasil dari penelitian di
Hawaii pada Tahun 1985 menunjukkan bahwa adanya peningkatan rata-rata
konsentrasi CO2 di atmosfer, yaitu 316 ppm pada Tahun 1959 menjadi
370 ppm pada Tahun 2000 dan 390 ppm pada Tahun 2010 dengan total CO2
global sebesar 48Gt pada Tahun 2010 (Singh dan Ahluwalia 2013). Peningkatan
konsentrasi karbondioksida di atsmofer sebagai salah satu unsur dominan gas
rumah kaca menjadi pemicu terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim yang terjadi
saat ini telah menjadi perhatian dunia (Bilanovic et al. 2009; Cheah et al. 2014; Sayre 2010;
Singh dan Ahluwalia 2013). Mikroalga berpotensi
menjadi solusi permasalahan tersebut karena memiliki kemampuan yang besar dalam
menangkap dan menyimpan karbondioksida dari atmosfer (Bilanovic et al. 2009; Cheah et
al. 2014; Sayre 2010; Singh dan Ahluwalia 2013). Kemampuan menangkap dan
menyimpan CO2 oleh mikroalga juga lebih tinggi dibanding tanaman
kehutanan, pertanian, dan tumbuhan air pada umumnya karena secara umum
mikroalga mempunyai kemampuan efisiensi fotosintesis yang lebih tinggi karena
kemampuannya yang besar dalam menangkap cahaya matahari dan mengubahnya menjadi
energi kimia yang dibutuhkan (Sayre 2010; Singh dan Ahluwalia 2013).
Tujuan
dalam penulisan term paper ini adalah
untuk mengungkap bahwa mikroalga mempunyai
kemampuan yang besar sebagai agen sekuestrasi karbon khusunya karbondioksida
sebagai salah satu gas rumah kaca yang menyebabkan pemanasan dan perubahan
iklim di dunia (Bilanovic et al. 2009; Cheah et al. 2014; Sayre 2010; Singh dan Ahluwalia
2013).
Beberapa
hal yang dibahas
dalam term paper ini diantaranya
adalah : (1) Potensi mikroalga dalam
menangkap dan menyimpan karbondioksida (carbon
sequestration) (Bilanovic et al. 2009; Cheah et al. 2014; Sayre 2010; Singh dan Ahluwalia
2013), dan (2) Sistem kultivasi mikroalga (Cheah et al. 2015; Sighn dan
Ahluwalia 2013; Kargupta et al. 2015).
PEMBAHASAN
1.
Potensi mikroalga dalam menangkap dan menyimpan
karbondioksida (carbon sequestration)
Tingginya emisi gas rumah kaca, terutama CO2
saat ini tidak cukup diatasi hanya dengan penangkapan CO2 tetapi
juga harus disimpan dalam waktu yang lama. Penangkapan dan penyimpanan CO2
secara langsung pada dasarnya telah terjadi dalam formasi geologi (Sayre 2010; Singh dan Ahluwalia
2013). Namun, sulit untuk memastikan bahwa karbon yang disimpan akan selamanya
disimpan dalam formasi mengingat aktivitas manusia yang dapat menimbulkan
bencana. Oleh karena itu, perlu adanya suatu penyimpanan karbon yang memiliki
sedikit resiko yaitu dengan mengubah karbon yang disimpan dalam bentuk biomassa
(Cheah et al. 2015; Sayre 2010; Singh dan Ahluwalia 2013). Penyimpanan
karbon dalam bentuk biomassa dapat dilakukan oleh vegetasi terestrial maupun
mikroalga. Penyimpanan karbon oleh vegetasi terestrial memiliki kekurangan
antara lain perlunya lahan luas serta dapat menyebabkan konflik dengan manusia
terkait ketersediaan pangan serta kebutuhan manusia lainnya, salah satunya
kebutuhan akan bahan baku konstruksi (Cheah et al. 2015; Sayre 2010; Singh dan
Ahluwalia 2013).
Mikroalga merupakan mikroorganisme uniselular atau multi
selular sederhana yang memiliki klorofil, dapat berupa mikroorganisme
eukariotik atau prokariotik (Cheah et al. 2015; Singh dan Ahluwalia 2013). Kebutuhan cahaya matahari
mikroalga lebih kecil dari tanaman berklorofil lainnya tetapi memiliki
produktivitas yang lebih tinggi tinggi (Cheah et al. 2014; Singh dan Ahluwalia
2013). Mikroalga memiliki kemampuan untuk menangkap CO2 dengan
efisiensi 10 kali lipat lebih besar dari tanaman darat karena mikroalga tidak
perlu mengeluarkan energi untuk membentuk struktur tubuhnya seperti akar, batang, dan cabang (Cheah et al. 2014; Sayre 2010;
Singh dan Ahluwalia 2013). Efisisensi yang tinggi dalam mengkonversi CO2 dan
laju pertumbuhan yang tinggi menyebabkan mikroalga dapat menjadi agen
sekuestrasi karbon (Bilanovic et al. 2009; Cheah et
al. 2015; Singh dan Ahluwalia 2013). Beberapa jenis mikroalga dengan efisiensi
fotosisntesis tinggi adalah jenis Chlorella
sp., Phaeodactylum tricornutum,
dan Tetraselmis suecica (Singh dan
Ahluwalia 2013). Sekuestrasi karbon menjadi hal yang penting karena sekuestrasi
karbon dapat dikembangkan untuk menurunkan emisi CO2 (Bilanovic et
al. 2009; Cheah et al. 2015). Di bawah ini terdapat gambar yang menunjukkan
proses produksi CO2, pelepasan di atmosfer, serta kemungkinan
sekuestrasi yang terjadi.
Gambar 1. Rantai Sekuestrasi
Karbon (Cheah et al. 2014)
Produksi biomassa merupakan
indikator utama yang digunakan untuk mengetahui kemampuan mikroalga dalam
menyimpan karbon. Untuk mengatasi masalah tingginya emisi CO2 di
atmosfer, karbon yang ada tidak cukup hanya dengan ditangkap tetapi juga harus
disimpan dalam bentuk biomassa (Cheah et al. 2014; Sayre 2010). Mikroalga
adalah “fast growing” mikroorganisme yang mengkonsumsi CO2 untuk
memproduksi biomassa. Sumber CO2 disini pada umumnya adalah 1) CO2
di atmosfer, 2) Gas buang industri, dan 3) Bikarbonat (Singh dan
Ahluwalia 2013). Produksi biomassa yang tinggi berkaitan erat dengan efisiensi
dari proses fotosintesis. Mikroalga sendiri adalah organisme dengan tingkat
efisiensi fotosintesis mencapai 80% hingga 99% pada kondisi optimal (Sayre
2010). Selain memiliki tingkat efisiensi fotosistesis yang tinggi, mikroalga,
baik mikroalga laut maupun darat mampu menjadi agen sekuestrasi CO2
dalam dengan interval konsentrasi CO2
dan Nitrogen yang besar dan dalam kekuatan ionik yang tinggi maupun rendah
(Bilavonic et al 2010).
2.
Sistem Kultivasi Mikroalga
Sistem kultivasi adalah salah satu sistem pengembangan
mikroalga sebagai agen sekuestrasi yang bertujuan untuk menyediakan kondisi
optimal untuk pertumbuhan mikroalga agar produksi biomassa dapat maksimal (Cheah et al. 2014; Singh dan
Ahluwalia 2013). Salah satu
keuntungan besar pengembangan mikroalga dibanding tanaman pertanian maupun
pepohonan adalah banyaknya jenis mikroalga yang memiliki toleransi terhadap
salinitas. Minimnya ketersediaan air tawar ditambah dengan 70% air tawar
dikonsumsi oleh tanaman pertanian membuat mikroalga memiliki potensi yang besar
untuk dikembangkan sepanjang tahun (Singh dan Ahluwalia 2013). Sistem kultivasi mikroalga pada umumnya meliputi dua sistem
utama, yaitu sistem kolam terbuka (open ponds) dan sistem fotobioreaktor (Photobioreactor) (Cheah et al. 2014; Kargupta et
al. 2015; Singh dan Ahluwalia 2013).
Sistem kolam terbuka merupakan sistem kultivasi
mikroalga dalam skala besar dengan biaya yang ringan, serta pemeliharan yang
mudah (Cheah et al. 2014; Singh dan Ahluwalia 2013). Perbandingan luas area per
volume yang tinggi pada sistem kolam terbuka menghasilkan mitigasi CO2
yang tinggi pula (Cheah et al. 2014). Di sisi lain,
sistem ini juga mempunyai kekurangan, yaitu perlunya area yang luas, lokasi
terbuka sehingga mengalami evaporasi akut, dan penggunaan karbon dioksida (CO2)
menjadi tidak efisien. Produktivitas mikroalga juga dibatasi oleh kontaminasi
dari alga atau mikroorganisme yang tidak diinginkan. (Cheah et al. 2014; Sayre
2010; Singh dan Ahluwalia 2013). Selain sistem kolam terbuka, terdapat pula
sistem bioreaktor, salah satunya dengan sistem fotobioreaktor. Fotobioreaktor
dikembangkan untuk mengatasi permasalahan kontaminasi dan evaporasi yang sering
terjadi dalam sistem open pond.
Sistem tersebut terbuat dari material tembus pandang dan umumnya diletakkan di
lapangan terbuka untuk mendapatkan cahaya matahari. Pada dasarnya,
photobioreactor terdapat dalam 2 jenis, plate dan tubular (Cheah et al. 2014).
Fotobioreaktor tubular lebih sesuai digunakan di lapangan terbuka.Sistem ini
banyak dilakukan dan diteliti karena faktor fisiko-kimia yang ada dapat
dikotrol sehingga produktivitas biomassa yang dihasilkan sangat tinggi atau
dengan kata lain efisiensi fiksasi CO2 dapat ditingkatkan secara
signifikan (Cheah et al. 2014; Singh dan Ahluwalia 2013). Akan tetapi, Sayre
(2010) melaporkan bahwa penangkapan karbondioksida (CO2) dalam
bentuk bikarbonat di kolam terbuka memiliki efisiensi yang lebih tinggi
dibanding bioreaktor yaitu sebesar 90%. Tabel
di bawah ini menunjukkan perbandingan antara sistem kolam terbuka dan
fotobioreaktor.
Tabel 1. Perbandingan kolam terbuka
(open ponds) dan sistem fotobioreaktor
(Photobioreactor)
No
|
Faktor
|
Kolam Terbuka
|
Fotobioindikator
|
1
|
Ruang yang dibutuhkan
|
Tinggi
|
Rendah
|
2
|
Evaporasi
|
Tinggi
|
Tidak ada
|
3
|
Kehilangan air
|
Sangat tinggi
|
Rendah
|
4
|
Kehilangan CO2
|
Tinggi
|
Rendah
|
5
|
Suhu
|
Bervariasi
|
Membutuhkan pendinginan
|
6
|
Pembersihan
|
Tidak Perlu
|
Perlu
|
7
|
Kualitas Biomassa
|
Bervariasi
|
Tergantung produksi
|
8
|
Biaya pemanenan
|
Tinggi
|
Rendah
|
9
|
Investasi
|
Rendah
|
Tinggi
|
10
|
Jenis Alga
|
Tertentu
|
Bebas
|
11
|
Kontaminasi
|
Tinggi
|
Rendah
|
Sumber: Cheah et al. 2014; Sayre
2010; Singh dan Ahluwalia 2013
Beberapa jenis mikroalga Penelitian Kargupta et al.
(2015) tentang kemampuan dua jenis mikroalga (Chlorella pyrenoidosa dan Scenedesmus
abundans) dalam menangkap dan menyimpan CO2 dalam sistem
kultivasi fotobioreaktor menunjukkan bahwa Chlorella
pyrenoidosa mampu menangkap dan menyimpan CO2 lebih efektif
dibanding Scenedesmus abundans. Teknik
yang banyak diaplikasikan untuk proses pemanenan mikroalga adalah flokulasi,
sentrifugasi, dan filtrasi dan teknik filtrasi
adalah metode pemanenan yang terbukti paling kompetitif dibandingkan dengan
teknik pemanenan yang lain (Singh dan Ahluwalia 2013).
KESIMPULAN
1.
Penangkapan
dan penyimpanan karbon menggunakan mikroalga adalah salah satu solusi yang
efektif dalam menyelesaikan permasalahan tingginya CO2 sebagai salah
satu komponen gas rumah kaca penyebab pemanasan lobal dan perubahan iklim (Bilanovic et al. 2009; Cheah et
al. 2014; Kargupta et al. 2015; Sayre 2010; Singh dan Ahluwalia 2013). Mikroalga memiliki potensi yang besar
sebagai agen sekuestrasi karbon dibanding vegetasi hutan maupun jenis lain. Hal
tersebut dikarenakan mikroalga mempunyai kemampuan untuk bertumbuh lebih cepat,
efisiensi fotosintesis yang lebih tinggi, serta memiliki nilai tambah sebagai
produk komersial (Cheah et al. 2014; Sayre 2010; Singh dan Ahluwalia 2013).
2.
Sistem
kultivasi dan teknik pemanenan merupakan faktor yang paling penting dalam
menghasilkan biomasa mikroalga dengan kuntitas dan kualitas tinggi serta
ekonomis. Sistem kultivasi mikroalga secara umum terbagi menjadi dua sistem
uatama, yaitu sistem kolam
terbuka (open ponds) dan sistem
fotobioreaktor (Photobioreactor). Tiap sistem memiliki kelebihan dan kekurangan
masing-masing. Sistem kolam terbuka mempunyai kekurangan, yaitu perlunya area yang luas,
evaporasi akut, dan adanya resiko kontaminasi. (Cheah et al. 2014; Sayre 2010;
Singh dan Ahluwalia 2013). Fotobioreaktor dikembangkan untuk mengatasi
permasalahan kontaminasi dan evaporasi yang sering terjadi dalam sistem kolam
terbuka.
DAFTAR ACUAN
Bilanovic, D., A. Andargatchew, T. Kroeger, and G.
Shelef. 2009. Freshwater and marine microalgae sequestering of CO2
at different C and N concentrations – Response surface methodology analysis. Energy Conversion and Management 50:
262-267.
Cheah, W. Y., P. L.Show, J. S. Chang, T. C. Ling, and J.
C. Juan. 2014. Biosequestration of atmospheric CO2 and
flue gas-containing CO2 by microalgae. Bioresource Technology
184: 190 –201.
Kargupta, W., A. Ganesh, and S. Mukherji. 2015.
Estimation of carbon dioxide sequestration potential of microalgae grown in a
batch photobioreactor. Bioresource
Technology 180: 370-375.
Sayre, R. 2010. Microalgae: The Potential for Carbon
Capture. BioScience 60:
722–727.
Singh, U. B., and A. S. Ahluwalia. 2013. Microalgae: A
promising tool for carbon sequestration. Mitigation and Adaptation
Strategies for Global Change 18:
73–95.
Langganan:
Postingan (Atom)