Sabtu, 14 November 2015

“Polluter Pays Principle dalam kajian Hukum Lingkungan di Indonesia”

1 komentar
“Polluter Pays Principle dalam kajian Hukum Lingkungan di Indonesia”

Polluter Pays Principle (Prinsip Pencemar Membayar)

Pertumbuhan tata pengaturan secara hukum lingkungan modern diawali setelah lahirnya deklarasi tentang lingkungan hidup tahun 1972 sebagai hasil dari konferensi PBB tentang lingkungan hidup manusia di Stockholm yang merupakan wujud nyata dari pembangunan kesadaran umat manusia terhadap masalah lingkungan hidup. Deklarasi tentang lingkungan hidup tersebut berisi 26 asas pelestarian dan pengembangan lingkungan hidup yang dilandasi oleh 7 pokok pertimbangannya.
Deklarasi Stockholm yang menghasilkan asas-asas pelestarian dan pengembangan lingkungan hidup bukan merupakan suatu asas-asas yang harus ada dalam hukum lingkungan negara Indonesia. Untuk dapat mengembangkannya menjadi asas-asas hukum lingkungan nasional maka pengaturan kebijakan dalam asas-asas pelestarian dan pengembangan lingkungan hidup tersebut perlu diolah dahulu untuk kemudian dapat dituangkan ke dalam asas hukum lingkungan Indonesia. Oleh karena itu, deklarasi Stockholm hanya menjadi referensi bagi pengembangan hukum lingkungan dan tata pengaturannya.
Munadjat Danusaputro (1985) menyatakan bahwa dalam 26 asas yang dideklarasikan dalam deklarasi Stockholm tersebut, hanya ada satu asas yang secara khusus menyebut dan merujuk pada arah pengembangan hukum lingkungan, Asas tersebut adalah asas ke 22. Kemudian asas tersebut didukung oleh asas ke 17 dan asas 21 dalam pelaksanaanya secara nasional maupun internasional.
Asas 22 deklarasi Stockholm berbunyi: “state shall co-operate to develop further the international law regarding liability and compensation for the victims of pollution and other environmental damage caused by activities within the juruisdiction or control of such states to areas beyond their jurisdiction”, (Negara-negara akan bekerjasama dalam mengembangkan lebih lanjut hukum internasional mengenai tanggung jawab hukum (tanggung gugat) dan ganti rugi terhadap para korban pencemaran atau kerusakan lingkungan akibat kegiatan dalam wilayah kewenangan atau pengawasan negara yang bersangkutan kepada wilayah di luar kewenangnnya).
Dalam rangka hari lingkungan hidup, 5 Juni 2006, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) menuntut adanya perbaikan pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam dengan pendekatan yang lebih komprehensif dengan mendasarkan pada penerapan asas-asas umum kebijaksanaan lingkungan yakni prinsip pencemar membayar (polluter pays principle) melalui pengembangan kebijaksanaan pemberian insentif pajak pemasukan alat pengelolah limbah bagi industri yang taat lingkungan,insentif lain bagi pengembangan industri yang melakukan daur ulang (reused, recycling).
Hukum internasional telah lama mengatur soal kewajiban bagi pelaku pencemaran lingkungan yang melewati batas suatu negara atau satu pihak ke pihak lainnya. Dikenal dengan istilah Transfrontier Pollution (TFP). Sejak awal dekade 1970an, permasalahan ini telah sering terjadi sehingga menimbulkan pemikiran tentang perlunya kesepakatan yang mengatur sekaligus mengatasi masalah tersebut. Contoh perjanjian yang telah disepakati yang mengatur masalah TFP ini adalah Perjanjian Brussel tentang intervensi di lautan terbuka terkait korban pencemaran minyak (Brussels Convention Relating to Intervention on The High Seas In Cases of Oil Pollution Casualties) serta perjanjian pertanggungan sipil untuk kerusakan karena pencemaran minyak (Convention on Civil liability for Oil Pollution Damage).
Dua perjanjian itu dilatarbelakangi dengan terjadinya peristiwa kandasnya kapal tanker minyak Torrey Canyon di lepas pantai Inggris pada tahun 1967. Kedua perjanjian di atas menjadi pokok yang penting dalam pengaturan lingkungan hidup yang bersifat public goods atau barang umum seperti udara, air, dan lautan.
E.J. Mishan dalam the cost of economic growth pada tahun enam puluhan memperkenalkan polluter pays principle (prinsip pencemar membayar) yang menyebutkan bahwa pencemar semata-mata merupakan seseorang yang berbuat pencemaran yang seharusnya dapat dihindarinya. Prinsip ini pada awal tahun 1972 mulai dianut oleh negara anggota organisasi kerjasama ekonomi dan pembangunan (organitation of economic co-operation and development / OECD) yang pada intinya menyebutkan bahwa pencemar harus membayar biaya pencegahan dan penanggulangan pencemaran yang ditimbulkan (Rangkuti 2000). Prinsip pencemar membayar (polluter pays principle) mengharuskan pada pihak pelaku pencemaran membayar dan bertanggung jawab terhadap setiap kerusakan lingkungan yang terjadi akibat aktivitasnya, tidak peduli apakah  telah mengikuti standar lingkungan atau tidak.
Dasar dari pengenaan pungutan atau pajak lingkungan adalah kenyataan bahwa harga suatu barang seharusnya mencerminkan seluruh biaya produksinya, termasuk harga dari seluruh faktor produksi yang digunakan. Jadi, penggunaan sumberdaya lingkungan seperti air, udara, maupun tanah (untuk wadah pembuangan limbah maupun untuk memyimpan limbah sementara) sama artinya dengan penggunaan faktor produksi yang lain seperti tenaga kerja dan bahan-bahan mentah dalam faktor produksi. Tanpa suatu sistem penentuan harga yang tepat, akan terjadi pemanfaatan lingkungan secara berlebihan sembagai tempat pembuangan limbah serta eksploitasi sumberdaya alam yang besar pula untuk masukan produksi. Untuk mencegah terjadinya eksploitasi sumberdaya alam dan lingkungan yang berlebihkan diterapkanlah Prinsip Pencemar harus Membayar (polluter pays principle). Prinsip pencemar membayar ini mencoba menetralkan kelemahan dari mekanisme pasar yang menimbulkan kegagalan pasar dalam mengakomodasi biaya eksternal atau biaya lingkungan. Jadi, prinsip pencemar membayar ini berusaha untuk memasukkan biaya eksternal ke dalam pertimbangan perusahaan pencemar dalam perhitungan biaya produksinya (internalising the external costs). Keharusan pencemar dalam untuk membayar pungutan yang sama besarnya dengan setiap unit tambahan limbah akan mendorong tercapainya alokasi biaya yang efektif.
 Prinsip pencemar membayar (polluter pays principle) dalam implementasinya memerlukan dua pendekatan kebijakan yang berbeda yaitu command and control dan market-based.
Seorang pakar ekonomi, John Maddox memberikan argumentasi bahwa pencemaran akan dapat dipecahkan dengan menghitung ongkos-ongkos yang timbul (price) dan merupakan masalah ekonomi. Lebih lanjut diuraikan bahwa ”we can reduce pollution if we are prepared to pay for it“, yang dapat dipahami bahwa seberapa besar kemampuan membayar baik dengan program untuk menciptakan alat pencegah pencemaran (anti pollution) maupun secara tidak langsung dengan membayar kerugian yang disebabkan oleh pencemaran (Silalahi 1996). Asas pencemar membayar (polluter pays principle) ini lebih menekankan pada segi ekonomi daripada segi hukum, karena mengatur mengenai kebijaksanaan atas penghitungan nilai kerusakan dan pembebanannya. OECD memberikan definisi : “the polluter should bear the expenses of carrying out measures decided by publik authorities to ensure that the environment is in “acceptable state” or in other words the cost of these measures should be reflected in the cost of goods and services which cause pollution in production and or in consumption.”
Studi yang dilakukan OECD dalam menghadapi masalah pengendalian pencemaran, menyimpulkan terdapat dua aliran utama, yaitu:
1).    Golongan yang menginginkan pengendalian langsung dengan satu-satunya strategi adalah diberlakukannya peraturan terhadap para pencemar, terutama mengenai standar emisi, dan
2).    Golongan yang lebih menyukai pendekatan ekonomi. Golongan ini mengemukakan, berbagai sumber daya alam terbuang sia-sia karena dianggap gratis atau kurang dipertimbangkan. Mereka menganggap perlu ditetapkannya “harga wajar“ yang meliputi pula pungutan pencemaran.
Dari sudut pandang ekonomi, pungutan merupakan instrumen pengendalian pencemaran yang paling efektif. Karena pungutan merupakan insentif permanen guna mengurangi pencemaran dan menekan biaya penanggulangan. Namun anggapan tersebut dibantah, yang menganggap biaya pungutan sama dengan biaya pembelian hak untuk mencemari. Argumen tersebut disanggah dengan adanya kenyataan bahwa pungutan pencemaran yang diperhitungkan secara tepat dapat mendorong pencemar untuk mengurangi emisi karena dengan jalan tersebut penanggulangan limbah akan lebih murah daripada mencemarkan dan kemudian membayar tuntutan ganti rugi akibat pencemaran.
Prinsip pencemar membayar merupakan penjabaran dari teoriteori ekonomi tentang lingkungan (environmental economics) dimana pencemaran/kerusakan lingkungan dianggap sebagai sebuah bentuk kegagalan pasar (market failure) yang menimbulkan inefisiensi. Pencemaran lingkungan menunjukkan  private costs ≠ social costs, yaitu bahwa biayabiaya lingkungan tidak dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan. Hal ini disebut sebagai eksternalitas.
Instrumen untuk menerapkan Prinsip Pencemar Membayar, antara lain:
1.      Sistem pertanggung jawaban: negligence versus strict liability bertujuan agar ganti rugi yang diberikan harus mampu melindungi kepentingan para korban dan memberikan insentif kepada calon pencemar untuk bertindak secara hati-hati
a.      Negligence
·         Pencemar bertanggungjawab jika ia tidak optimal mengambil langkah-langkah pencegahan (optimal care), sehingga pencemar yang rasional akan mengambil langkah optimal sepanjang biaya biaya ganti rugi lebih besar dari pada biaya pencegahan optimal
b.      Strict liability
·         Pencemar bertanggungjawab manakala timbul kerugian (tanpa melihat apakah ia telah mengambil langkah pencegahan secara optimal atau tidak).
·         Pencemar akan melakukan pencegahan sebanyak mungkin karena kerugian akan semakin berkurang ketika pencegahan semakin banyak dilakukan
Kebijakan berdasarkan prinsip pencemar membayar harus memudahkan masyarakat untuk melindungi lingkungan tanpa mengorbankan efisiensi dari sistem ekonomi pasar bebas. Empat hal yang harus dijawab dalam PPP adalah 1) Apa yang dicemarkan?, 2) Siapa pencemar, 3) Berapa banyak yang harus dibayar pencemar?, dan 3) Untuk siapa pencemar membayar? (Cordato 2001). Pencemar disini dapat berupa perorangan, perusahan, maupun organisasi.
Terdapat tiga pokok pikiran yang terkandung dalam prinsip pencemar membayar. Pertama, penegasan pada tanggung jawab bersama dan sama tiap-tiap negara untuk melindungi lingkungan hidup baik pada pada tingkat nasional, regional, maupun global. Kedua, perhatian untuk melakukan usaha mencegah, mengurangi dan mengontrol ancaman terhadap lingkungan hidup didasarkan pada perbedaan keadaan masing-masing negara, khususnya dalam hal kontribusi tiap-tiap negara tersebut pada terjadinya pertambahan intensitas ancaman terhadap lingkungan hidup dan atau kerusakan lingkungan hidup yang terjadi. Ketiga, bahwa prinsip kebijakan lingkungan yang mengharuskan biaya pencemaran harus ditanggung oleh mereka yang menyebabkan itu.



 

Polluter Pays Principle dalam Perkembangan Hukum Lingkungan di Indonesia

Dalam perkembangan hukum di Indonesia, prinsip pencemar membayar (polluter pays principle ) tidak hanya melingkupi instrumen ekonomi, melainkan telah masuk pada instrumen hukum. Dalam hukum positif yang mengatur perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang berlaku saat ini yaitu Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlingdungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH), prinsip pencemar membayar telah diadopsi kedalam Undang undang tersebut. Pasal 2 Undang-undang Lingkungan Hidup Nomor 32 Tahun 2009 menyebutkan “Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan berdasarkan 14 asas, yaitu:
1).        Tanggung jawab Negara;
2).        Kelestarian dan keberlanjutan;
3).        Keserasian dan keseimbangan;
4).        Keterpaduan;
5).        Manfaat;
6).        Kehati-hatian;
7).        Keadilan;
8).        Ekoregion;
9).        Kenekaragaman hayati;
10).    Pencemar membayar;
11).    Partisipatif;
12).    Kearifan local;
13).    Tata kelola pemerintahan yang baik; dan
14).    Otonomi daerah.
Dalam penjelasan Undang-undang mengenai prinsip pencemar membayar yang tercantum pada pasal 2 huruf (J), yang dimaksud dengan asas pencemar membayar (polluter pays principle) adalah “bahwa setiap penanggung jawab yang usaha dan/ atau kegiatannya menimbulkan pencemaran dan/ atau kerusakan lingkungan hidup wajib menanggung biaya pemulihan lingkungan”.
Pasal 42 ayat (1) Dalam rangka melestarikan fungsi lingkungan hidup, pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengembangkan dan menerapkan instrumen ekonomi lingkungan hidup” yang kemudian diterangkan pada Pasal 42 ayat (2) “Instrumen ekonomi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi a) perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi; b) pendanaan lingkungan hidup; dan c) insentif dan/atau disinsentif. Kemudian lebih lanjut diterangkan pada pasal 43 bahwa instrumen perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi salah satunya meliputi internalisasi biaya lingkungan hidup yaitu memasukkan biaya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dalam perhitungan biaya produksi atau biaya suatu usaha dan/atau kegiatan, serta yang dimaksud dengan insentif dan/atau disinsentif yaitu  pemberian insentif ekonomi pada pemilik kegiatan yang taat kepada persyaratan lingkungan dapat merangsang penaatan, terutama bagi perusahaan milik negara yang penerapannya antara lain melalui penerapan pajak, retribusi, dan subsidi
lingkungan hidup. Sebaliknya kegiatan/atau usaha yang tidak taat akan dikenakan disinsentif berupa pungutan Hal ini muncul karena selama ini lingkungan tidak diberi nilai/harga maka dalam perkembanganya manusia atau badan hukum (terutama yang berorintasi profit) banyak menggunakan SDA secara berlebihan dan cenderung membabat habis tanpa berpikir akibat bagi generasi yang akan datang. Tentu yang tersisa hanya derita dan bencana yang harus ditanggung baik harga, benda dan nyawa. Untuk itu, usaha memberi suatu biaya lingkungan yang ada pada pasal 42-43 UU No 32 Tahun 2009 ini menjadi langkah awal untuk mereformasi dari UU sebelumnya yakni UU No 23 Tahun 1997 tentang PLH. Gagasan yang terkandung dalam pasal tersebut, sebagai penjawantaan dari prinsip biaya lingkungan dan sosial yang terintegrasikan ke dalam proses pengambilan keputusan yang berkiatan dengan penggunaan SDA , sehingga pada akhirnya terjadi internalisasi “eksertenalitas” dalam arti ekserternalitas harus menjadi bagian dari pengambilan keputusan. Dengan memanfaatkan instrumen yang ada di UU tersebut berupa pengaturan (larangan dan sanksi), charge, fees, leasing, perijinan, mekanisme property right dan lain-lain.
Pasal 87 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009, juga menyebutkan bahwa “Setiap penanggung jawab usaha dan atau / kegiatan yang melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan atau / perusakan lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan atau / melakukan tindakan tertentu”. Dalam penjelasan Pasal 87 ayat (1) tersebut diterangkan:
”Ketetuan dalam ayat ini merupakan realisasi asas yang ada dalam hukum lingkungan hidup yang disebut asas pencemar membayar (polluter pays principle). Selain diharuskan membayar ganti rugi, pencemar dan atau / perusak lingkungan hidup dapat pula dibebani oleh hakim untuk melakukan tindakan hukum tertentu, misalnya perintah untuk :
1).    Memasang atau memperbaiki unit pengolahan limbah sehingga limbah sesuai dengan baku mutu lingkungan hidup yang ditentukan;
2).    Memulihkan fungsi lingkungan hidup; dan / atau
3).    Menghilangkan atau memusnahkan penyebab timbulnya pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup .
Penjelasan pasal tersebut telah memberikan gambaran bahwa asas-asas yang berkembang dan berpengaruh dalam hukum lingkungan internasional, beberapa diantaranya telah diadopsi dalam Undang-undang lingkungan Indonesia agar tercipta kemajuan ekonomi dan pembangunan tanpa mengabaikan lingkungan. Mengenai ganti rugi yang harus dibayarkan pencemar terhadap dampak yang timbul akibat pencemaran, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 13 Tahun 2011 tentang Ganti Rugi Akibat Pencemaran dan/ atau Perusakan Lingkungan memberikan pedoman bagi penyelesaian sengketa lingkungan baik melalui pengadilan maupun di luar pengadilan. Peraturan menteri tersebut mengintrodusir komponen-komponen yang harus dimasukan dalam penghitungan ganti rugi baik individu maupun lingkungan.
Oleh karena itu, bagi pelaku usaha yang memiliki izin, manakala aktivitas tersebut menimbulkan kerusakan lingkungan karena telah melampaui atau melanggar baku mutu kerusakan lingkungan yang ditetapkan, maka kepada perusahaan tersebut harus dikenakan sanksi berupa membayar sejumlah uang (uang paksa/dwangsom), bukan denda administratif, yang ditetapkan oleh pemerintah (daerah), tanpa harus melalui proses persidangan (gugatan di pengadilan). Sanksi yang diberikan bersifat langsung, setelah dilakukan penghitungan oleh tim ahli (akuntan) tentang besarnya uang yang wajib dibayar yang setara dengan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan.
Terhadap pelaku usaha yang tidak memiliki izin (PETI), tanpa harus mengkaji apakah telah melanggar baku mutu kerusakan atau tidak, pelaku kegiatan tambang tersebut harus dikenakan kewajiban membayar uang paksa guna merehabilitasi lingkungan yang rusak akibat dari aktivitas tambang tersebut. Selain itu, kepada pelaku juga dapat dikenakan sanksi yang lain sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Secara teori, instrumen ekonomi menjanjikan hasil yang baik terhadap penaatan hukum lingkungan. Dalam prakteknya, belum adanya peraturan pelaksana terkait instrumen ekonomi yang menyebabkan kegagapan pemerintah dalam penerapannya dan keengganan pelaku usaha untuk melaksanakannya. Dari sekian banyak bentuk instrumen ekonomi yang diatur dalam UUPPLH, hanya 4 bentuk instrumen ekonomi yang mulai dapat dilihat penerapannya di Indonesia, yaitu:
1.      Pajak dan subsidi Lingkungan. Bentuk ini yang paling mudah dipahami dan diterapkan, walaupun tidak diatur secara khusus. Beberapa peraturan pemerintah dan peraturan daerah memasukkan instrumen ini sebagai bentuk insentif dan disinsentif dalam peraturan terkait. Contohnya adalah dalam peraturan mengenai pajak bumi dan bangunan, diberikan insentif pemotongan pajak bagi bangunan ramah lingkungan, juga dalam peraturan mengenai pajak kendaraan diberikan subsidi bagi kendaraan ramah lingkungan.
2.      Perdagangan izin pembuangan limbah dan/atau emisi. Mekanisme ini diwujudkan dalam bentuk mekanisme REDD yang masih menghadapi berbagai kendala dalam pelaksanaannya.
3.      Pembayaran jasa lingkungan. Mekanisme imbal jasa lingkungan antar pemerintah daerah telah dilakukan terutama terkait dengan pengelolaan sampah di kota-kota besar. Contohnya Pemerintah Kota Bandung memberikan imbal jasa bagi Pemerintah Kabupaten Bandung yang menyediakan Tempat Pembuangan Sampah Akhir bagi sampah Kota Bandung. Pembayaran jasa lingkungan juga mulai diinternalisasikan dalam retribusi kawasan wisata alam seperti yang dilakukan di kawasan wisata Kawah Putih, Kabupaten Bandung.
4.      Label Ramah lingkungan. Sudah banyak produk-produk yang menggunakan label ramah lingkungan, tetapi hal ini belum menjadi pertimbangan utama masyarakat Indonesia dalam membeli suatu produk. Meskipun demikian, penggunaan label ini cukup menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan besar di Indonesia mulai menempatkan pertimbangan lingkungan sebagai poin penting dalam manajemen perusahaannya.
Dari keempat bentuk instrumen ekonomi tersebut diatas. Jasa lingkungan dan label ramah lingkungan masih diperdebatkan posisinya apakah bagian dari instrumen ekonomi atau bukan. Beberapa kalangan berpendapat bahwa instrumen ekonomi, sebagaimana teori-teori yang disebutkan diatas hanya terdiri atas pajak, deposit refund system, treadable permit, dan subsidi, sisanya adalah praktek ekonomi yang diberi label ramah lingkungan. Di luar perdebatan yang terjadi, dari sudut pandang penaatan hukum yang tujuannya adalah diterapkannya persyaratan lingkungan oleh para pemangku kepentingan, instrument ekonomi memiliki peran yang signifikan.     

KESIMPULAN
1.      Penerapan prinsip pencemar membayar tidak hanya berarti bahwa pencemar membayar biaya atau ganti rugi atas kerusakan yang ditimbulkan, tetapi juga pengeluaran biaya yang digunakan untuk mencegah adanya kerusakan/pencemaran tersebut.
2.      Instrumen ekonomi, termasuk penerapan prinsip pencemar membayar, menempati posisi strategis dalam penaatan hukum lingkungan, tetapi penerapan instrumen ini mensyaratkan beberapa hal, yaitu :
a.       Dukungan pemerintah melalui pembentukan peraturan pelaksana
b.      Mekanisme dan penentuan organisasi pelaksana yang jelas
c.       Sosialisasi yang baik mengenai bentuk-bentuk instrument ekonomi
Ketiga hal ini hanya bisa didapat jika paradigma pembangunan berkelanjutan tidak hanya menjadi slogan, melainkan telah menjadi arus utama dalam pengambilan keputusan. Hal paling mendesak yang harus dilakukan adalah menetapkan Peraturan Pemerintah mengenai Instrumen ekonomi. Ditetapkannya Peraturan Pemerintah mengenai Instrumen Ekonomi ini dapat memberikan panduan bagi penerapan instrument ekonomi di Indonesia.


FISIOGRAFI

0 komentar
PENDALAMAN MATERI 1

  1. Apakah yang dimaksud dengan:
         fisiografi
         fisiografi lingkungan,
         geomorfologi
  1. Mengapa fisiografi/geomorfologi dapat digunakan sebagai dasar kajian masalah lingkungan.
  2. Sebutkan 3 konsep dasar geomorfologi yang digunakan untuk menganalisis aspek kebencanaan suatu daerah.
Jelaskan arti penting 4 aspek utama geomorfologi bagi studi ilmu lingkungan.

  1. Pengertian:
a.       Fisiografi
         Fisiografi adalah deskripsi bentuklahan atau medan yang mencakup aspek fisik (abiotik) dari lahan (Zuidam 1979)
         Fisiografi adalah studi mengenai daratan (geomorfologi), atmosfer (meteorologi-klimatologi) dan laut (oseanografi) (Lobeck, 1939)
         Fisiografi adalah deskripsi kenampakan atau gejala alami dan hubungan timbalbaliknya (Monkhouse, 1972)
         Fisiografi adalah uraian atau deskripsi tentang genesis dan evolusi bentuklahan (AGI ,1962)
         Geomorfologi ialah satu bidang kajian sains bumi yang mengkaji interaksi antara proses, faktor dan bentuk di permukaan bumi secara sainstifik (Hjulstrom 1935)

b.      Fisiografi Lingkungan adalah aspek fisik diri kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya yang mempengaruhi perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lainnya.

c.       Geomorfologi
        Geomorfologi adalah ilmu pengetahuan yang menguraikan bentuklahan dan proses pembentukannya dan penyelidikan hubungan bentuklahan dan proses tersebut dalam tatanan keruangannya (Zuidam, 1979).
         Geomorfologi adalah studi tentang bentuklahan (Lobeck, 1983)
         Geomorfologi adalah ilmu tentang bentuklahan (Thornbury, 1954)
         Geomorfologi adalah ilmu pengetahuan tentang bentuklahan pada permukaan bumi, baik diatas maupun bawah permukaan air laut, dan menekankan pada asal mula terbentuknya (Genesa) serta perkembangan yang akan datang, dan hubungan dengan lingkungannya (Verstappen, 1983)
         Geomorfologi adalah ilmu yang mempelajari bentuk-bentuk muka bumi yang terjadi karena kekuatan-kekuatan yang bekerja diatas dan didalam bumi ( Katili John, 1959)
         Geomorfologi merupakan ilmu yang mengkaji tentang bentuklahan, khususnya mengenai sifat, asal pembentukan, proses-proses perkembangan, dan komposisi materialnya ( Cook dan Doornkamp, 1978)

2.      Fisiografi/geomorfologi dapat digunakan sebagai dasar kajian masalah lingkungan karena geomorfologi dapat digunakan untuk melihat kejadian yang terjadi masa lampau dan untuk memprediksi kejadian yang akan terjadi dalam masa depan. Dengan memprediksi apa yang dapat terjadi di suatu tempat, manusia bisa menanggulangi terjadinya bencana dengan pengetahuan berbasis geomorfologi dan biologi lingkungan. Selain itu, fisiografi/geomorfologi juga memiliki potensi terapan dalam upaya pengelolaan lingkungan. Sebagai contoh dengan mengetahui karakteristik bentuklahan (hasil kajian fisiografi/geomorfologi), dapat diketahui potensi bencana suatu daerah seperti bahaya banjir, longsorlahan, dan kekeringan sehingga upaya pencegahan dapat dilakukan. Hal tersebut terbukti dengan dibutuhkannya data-data geomoforfologi dalam dokumen AMDAL, UKL UPL, dan Studi Evaluasi Lingkungan.

  1. Tiga konsep dasar geomorfologi yang digunakan untuk menganalisis aspek kebencanaan suatu daerah yaitu,
a.       Konsep ketiga: Relief permukaan bumi yang luas karena proses geomorfologi berlangsung pada tingkat yang berbeda. Konsep ini menjelaskan bahwa bencana alam yang terjadi dapat dianalisis melalui tingkat permukaan bumi, misalnya analisis bencana pada dataran rendah seperti banjir, analisis pada dataran tinggi seperti longsor
b.      Konsep keempat: Proses-proses geomorfologi meninggalkan bekas yang nyata  pada bentuklahan,dan Setiap  proses geomorfologi mengembangkan bentuklahan sehingga memiliki Karakteristik tertentu Bentukan-bentukan permukaan bumi mencirikan kondisi permukaan bumi baik secara proses pembentukannya dari dalam dan proses yang membentuk dari luar. Proses yang membentuk dari luar tidak lepas dari tenaga yang memberinya, yaitu dalam hal ini adalah air. Bentukan-bentukan permukaan tersebut dapat digunakan untuk identifikasi kejadian yang telah lama dan sering terjadi. Misalnya dalam bentuklahan tanggul alam merupakan akumulasi pengendapan dengan kondisi topografi yang lebih tinggi dari pada permukaan sekitarnya dari proses fluvial atau sungai yang dahulu pernah mengalami banjir dengan frekuensi yang relatif tinggi. Dengan mengetahui kejadian masa lampau kita dapat memprediksi kejadian di masa depan seperti bencana yang akan terjadi.
c.       Konsep kelima: Keragaman erosional agent seperti air dan angin dapat membentuk urutan bentuklahan dengan tingkat kerawanan bencana yang berbeda pada suatu daerah. Misalnya analisa yang terjadi pada suatu daerah dapat dilakukan melalui bentukan landform oleh erosional agent seperti air yang dapat berupa air permukaan tanah, air bawah tanah, gelombang laut, arus laut, dan curah hujan.

  1. Jelaskan arti penting 4 aspek utama geomorfologi bagi studi ilmu lingkungan.
a.       Geomorfologi Statis (Static Geomorphology), kajian yang menekankan pada bentuklahan aktual. Dalam studi Ilmu Lingkungan aspek ini memiliki arti penting dalam menganalisis rona aktual landform sehingga mampu menjawab jika kemudian terjadi permasalahan atau bencana pada landform tersebut dari aspek geologisnya.
b.      Geomorfologi Dinamis (Dynamic Geomorphology), kajian tentang proses dan perubahan jangka pendek pada bentuklahan. Aspek ini memiliki arti penting dalam menganalisis masalah lingkungan berkaitan dengan perubahan ekologis jangka pendek pada bentuklahan yang dapat menimbulkan pencemaran atau bencana. Misalnya analisis dampak lingkungan pada perubahan penggunaan lahan hutan lindung menjadi hutan produksi.
c.       Geomorfologi Genetik (Genetic Geomorphology), kajian tentang perkembangan jangka panjang bentuklahan. Aspek ini memiliki arti penting dalam menganalisis permasalahan lingkungan berkaitan dengan asal usul landform yang telah terjadi dalam jangka waktu yang panjang. Misalnya kajian tentang struktur batuan atau sifat permeabilitas tanah menyerap air pada suatu daerah yang mengalami kekeringan.
d.      Geomorfologi Lingkungan (Environmental Geomorphology), kajian yang menekankan pada ekologi bentanglahan, yaitu kaitan antara geomorfologi dengan aspek kajian (disiplin) ilmu lainnya atau hubungan antarparameter penyusun bentuklahan (Verstappen, 1983).


PENDALAMAN MATERI 2

1.      Apakah yang dimaksud dengan
a.       Satuan bentuklahan
b.      Bagaimana karakteristiknya
c.       Manfaat bagi kajian lingkungan
2.      Buatlah uraian satuan bentuklahan asal proses genetik yang berisikan
a.       Karakteristik
b.      Permasalahan yang mungkin terjadi
c.       Potensi sumberdaya alam

Penjelasan
1.      Pengertian
a.       Satuan bentuklahan bagian lebih terperinci dari kenampakan medan/fisik hasil dari proses alami dengan komposisi tertentu yang memiliki karakteristik visual dan fisik yang khas yang membedakan satu dan lainnya. Contoh satuan bentuklahan asal fluvial yaitu dataran aluvial, dataran banjir, rawa belakang, tanggul alam, teras sungai, kipas aluvial, gosong, delta, dataran delta, dan dataran antar bulit.
b.      Bagaimana karakteristiknya
Karakterteristik bentuklahan terdiri dari relief, material penyusun (struktur, batuan, dan tanah), serta proses pembentukannya atau proses geomorfik yang berbeda-beda antara satuan bentuk lahan yang satu dengan yang lainnya.
c.       Dengan mengetahui karakteristik bentuklahan, kita dapat mengetahui sifat alami danri lahan tersebut sehingga dapat diguanakan untuk mengkaji permasalahan dan potensi yang ada dari bentuklahan tersebut. Contohnya adalah dalam kajian bencana, potensi wilayah, kemampuan lahan, dan kesesuaian lahan suatu daerah.


2.      Satuan bentuklahan vukanik
a.       Karakteristik
No
Satuan bentuklahan
Relief
Tipe Batuan dan Struktur
Proses Geomorfik
Ciri-ciri
1
Kepundan
Depresi Vulkanis
Piroklastik dan endapan lava
Erupsi
Bentuk depresi di puncak kerucut atau pada lereng
2
Kerucut gunungapi
Bergunung
Endapan piroklastik dan aliran lava
Endapan piroklastik dan gravitasi
Tubuh gunungapi palig atas dan lereng paling curam
3
Lereng gunungapi
Berbukit
Endapan piroklastik
Endapan piroklastik dan gravitasi
Bagian tubuh gunungapi di bawah kerucut gunugapi

b.      Bencana yang mungkin terjadi adalah bencana letusan gunungapi meliputi awan panas, aliran lahar, aliran lava, aliran piroklastik, serta aliran debu dan gas.
c.       Potensi sumberdaya alam meliputi berupa pasir dan batu hasil letusan, keanekaragaman hayati meliputi flora dan fauna di lereng dan kaki gunung, potensi sumberdaya air, serta potensi objek wisata bagi wisawatan.


PENDALAMAN MATERI 3

1.      Apa yang dimaksud dengan peta geomorfologi
2.      Jelaskan isi peta geomorfologi
3.      Bagaimana prosedur pemetaan geomorfologi
4.      Manfaat peta geomorfologi dalam kajian lingkungan

Penjelasan
1.      Peta geomorfologi adalah peta yang menggambarkan suatu bentuklahan meliputi relief, material penyusun, dan proses geomorfik yang terjadi yang disusun berdasarkan hasil interpretasi penginderaan jauh dan pengamatan/penelitian lapangan yang disajikan dalam bentuk gambar  melalui proses kartografi sehingga karakteristik medan dapat ditunjukkan.

2.      Isi peta geomorfologi meliputi kontur, pola aliran, jaring-jaring jalan dan tempat penting, material penyusun, bentuklahan, aspek morfometri, proses geomorfik, dan morfokronologi.


3.      Prosedur pemetaan geomorfologi meliputi
a.       Intepretasi citra penginderaan jauh/topografi
b.      Pengujian dan pengamatan lapangan
c.       Pengambilan sampel batuan atau tanah
d.      Intepretasi ulang dan analisis laboratorium
e.       Pengolahan data dan penggambaran peta


Text Box: Kompilasi peta fotogrametrik
Intepretasi gambar litologi
Text Box: Peta topografi
Peta geologi
Peta tanah
                        atau
 

















4.      Manfaat peta geomorfologi dalam kajian lingkungan adalah sebagai penyedia data dasar dalam analisis penggunaan lahan, klasifikasi kemampuan dan keseuaian lahan, serta penilaian bahaya dan bencana.


PENDALAMAN MATERI 4

1.      Jelaskan arti penting satuan medan dan satuan lahan.
2.      Bagimana satuan medan dan satuan lahan dibuat
3.      Apakah yang dimaksud dengan karakteristik lahan dan kulitas lahan
4.      Bagaimana peta kemampuan lahan dan peta kesesuaian lahan dibuat.

Penjelasan
1.      Arti penting satuan medan dan satuan lahan.

2.      Satuan lahan dan satuan medan dibuat dengan cara menumpangsusun peta bentuklahan, lereng, batuan, tanah, dan penggunaan lahan. Bila tidak ada data pendukung, bisa dilakukan dengan intepretasi foto udara. Kemudian, hasil tumpang susun tersebut (satuan lahan) diberi nama dengan kode empat digit.

3.      Pengertian
a.       Karakteristik lahan adalah atribut lahan yang dapat diukur/diperkirakan yang dapat digunakan untuk membedakan satuan lahan yang berbeda kesesuaiannya untuk penggunaan dan dapat digunakan untuk mendeskripsi kualitas lahan.
b.      Kualitas lahan adalah atribut lahan yang berfungsi sebagai pembeda dan berpengaruh terhadap kesuaian lahan pada penggunaan tertentu atau spesifik.
4.      Proses pembuatan peta kemampuan lahan dan kesesuaian lahan
a.       Text Box: Peta BentuklahanText Box: Peta BatuanText Box: Peta BatuanText Box: Peta Jenis TanahText Box: Peta KelerenganProses pembuatan peta kemampuan lahan
b.     
 



c.       Proses pembuatan peta kesesuaian lahan


PENDALAMAN MATERI 6 (KE LIMA SAAT KUIS)

1.      Apa kontribusi geomorfologi untuk kajian geologi
2.      Kontribusi geologi untuk kajian geomorfologi
3.      Membedakan struktur lipatan dan dome dari sudut pandang geomorfologi
4.      Mengetahui neo-tektonik dari sudut pandang geomorfologi

Penjelasan:
1.      geomorfologi untuk kajian geologi dalam kegiatan survey geologis tanah serta eksplorasi material permukaan dan minyak. Diantara ilmu-ilmu kebumian, geomorfologi posisinya berada diantara geologi dan pedologi sehingga menjembatani keduanya. Ahli geologi dan pedologi memperoleh banyak keuntungan dari informmasi geomorfologis terutama dalam hal pemetaan tematik yang berkaitan dengan aspek geomorfologis. Miler (dalam verstappen, 1983) mengemukakan 4 kategori peranan geomorfologi dalam penyelidikan geologis yaitu:
a.       Yang berhubungan dengan bentuk-bentuk lahan erosional dan deposisional, di sebut geomorfologi elementer.
b.      Yang berhubungan dengan bukti-bukti geomorfologis yang dapat membantu memecahkam problem geologis, di sebut geomorfologis suplementer
c.       Yang berupa penerapan geomorfologi mengenai informasi perhatian geologis yang  muncul melalui studi geomorfologis, di sebut geomorfologis komplementer.
d.      Berupa penerapan geomorfologi oleh ahli geologi di daerah-daerah yang tidak terdapat singkapan yang dapat dipetakan dan tidak mudah dapat dibedakan dan/atau dilihat kedudukan strukturnya, di sebut geomorfologi independen.
Dalam eksplorasi minyak, banyak ladang minyak ditemukan karena ekspresi topografi yang menarik perhatian. Struktur antiklinal dengan igir-igir dan lembah-lembah yang memusat biasanya merupakan tempat kedudukan ladang minyak. Demikian halnya dengan struktur dome. Suatu metode baru untuk mengetahui struktur geologi pada suatu wilayah dan akumulasi minyak adalah dengan analisa drainase sebagaimana kenampakannya pada foto udara. Lokasi mineral sering berhubungan dengan goemorfologis suatu wilayah. Dalam penyelidikan hubungan antara mineral dengan relief diperlukan adanya pemahaman tentang sejarah geomorfologi suatu wilayah.
Secara rinci, bentuk lahan mencermintan struktur dan litologi geologi, struktur geomorfologis mncerminkan struktur geologi, serta pola dan kepadatan aliran bisa digunakan untuk identifikasi struktur, arah perlapisan batuan, dan identifikasi litologi.

2.      Kontribusi geologi untuk kajian geomorfologi terlihat dalam 10 konsep dasar geomorfologi dimana Struktur geologi merupakan faktor pengontrol yang dominan dalam evolusi bentuk lahan sebagai kajian geomorfologi, dan Interpretasi yang sempurna mengenai landscapes melibatkan beragam faktor geologi dan perubahan iklim selama Pleistosen.

3.      Membedakan struktur lipatan dan dome dari sudut pandang geomorfologi.
a.       Pertama kali yang harus disadari bahwa suatu daerah yang berstruktur lipatan, oleh tenaga eksogen dihancurkan melalui proses denudasional, sehingga permukaan menjadi rata. Oleh karena itu kenanpakan topografi seperti antiklinal dimungkinkan bukan menjadi punggungan topografi, demikian pula sinklinal ditemukan bukan merupakan lembah. Di samping itu, dimungkinkan pula terjadi pembalikan relief (inversion of relief) sebagai akibat dari bekerja ulangnya tenaga endogen. Bentukan khas yang terdapat pada daerah berstruktur lipatan yang berkenaan dengan pembentukan lipatan kulit bumi belum dijumpai pembentukan baru, pada umumnya telah mengalami beberapa siklus geomorfologi, sehingga bentanglahan yang ada banyak yang dijumpai multi siklis. Walaupun di banyak tempat di permukaan bumi ini telah mengalami proses demikian, di daerah yang berstruktur lipat dapat dijumpai beberapa bentukan yang merupakan bentukan khasnya.
b.      Hasil pembalikan relief akan dapat membedakan kubah secara struktur dan kubah secara topografi. Kaitannya dengan keadaan tersebut, maka akan ditemukan struktur positif dengan topografi negatif, struktur positif dengan topografi positif; dan struktur negatif dengan topografi positf. Adapun bentukan-bentukan yang khas pada daerah dengan struktur kubah adalah dalam hal:
                            i.      Pola pengaliran
Pola pengaliran biasanya radial pada kubah muda dengan lembah termasuk lembah konsekuen. Pola pengaliran anular pada kubah usia dewasa. Pola ini memperlihatkan sungai-sungai besar membentuk lingkarann dan anak-anak sungai bermuara tegak lurus dengan sengai induk. Lembah-lembah besar melingkar berupa lembah subsekuen, sedangkan lembah-lembah cabangnya berupa lembah resekuen/ konsekwen. Perlu diketahui pula pola pengaliran yang sempurna seperti di atas hanya terjadi pada daerah dengan struktur kubah yang luas dan pada kubah yang kecil (tidak luas) sungai-sungai tudak akan terbentuk. Berikut ini disajikan mengenai pola pengaliran di daerah dome/kubah yang luas.
                          ii.      Terdapat bentukan Cuesta, Hogback, Messa, Butte, Flat iron.
Messa, butte, dan flat iron ini pada dasarnya adalah suatu bukit sisa yang ada di daerah yang berstruktur kubah. Biasanya bukit sisa ini material batuannya adalah resisten, sehingga dengan meterial yang resisten terhadap erosi membentuk topografi yang menjulang dibandingkan dengan deerah sekelilingnya.

4.      Neo tektonik dari sudut pandang geomorfologi dapat dilihat pada daerah tektogen dan daerah kratogen. Kepulauan Indonesia secara geomorfologi dapat dibagi kurang lebih menjadi daerah kratogen di sebelah barat dan timur, dan sisanya termasuk teritorial dengan tektogen kuat (Sutarjo Sigit, 1962).



PENDALAMAN MATERI 7

1.      Material permukaan adalah hasil dari proses geologi seperti pelapukan dan erosi batuan dasar yang hancur menjadi partikel-partikel yang lebih kecil dari sedimen. Sedimen seperti tanah liat, lumpur, pasir, kerikil, dan deposito longgar lainnya yang terletak di atas batuan dasar dikelompokkan bersama dalam kategori umum dari bahan surficial. Bahan-bahan bukan tanah, mereka adalah material bumi yang lebih dalam yang terletak di antara zona tanah dan batuan dasar yang mendasari. Tanah umumnya berkembang dengan pelapukan bagian paling atas dari bahan-bahan. Material permukaan biasanya terdapat di satuan bentuklahan fluvial.
2.      Metode untuk mengevaluasi potensi sumberdaya mineral dan batuan adalah dengan metode pendekatan lithologi, ciri-ciri ubahan dan mineralisasinya. Sejumlah batuan dan singkapan batuan diambil untuk dilakukan analisis dasar penentuan potensi sumberdaya mineral dan batuan.
3.      Bahaya (hazard) adalah suatu fenomena fisik, fenomena, atau aktivitas manusia yang berpotensi merusak, yang bisa menyebabkan hilangnya nyawa atau cidera, kerusakan harta-benda, gangguan sosial dan ekonomi atau kerusakan lingkungan (ISDR, 2004 dalam MPBI, 2007) atau peristiwa kejadian potensial yang merupakan ancaman terhadap kesehatan, keamanan, atau kesejahteraan masyarakat atau fungsi ekonomi masyarakat atau kesatuan organisasi pemerintah yang selalu luas (Lundgreen, 1986).
Bencana menurut Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007, Bencana dapat didefinisikan sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban  jiwa  manusia,  kerusakan  lingkungan,   kerugian  harta  benda,  dan  dampak   psikologis.
Resiko Bencana adalah probabilitas timbulnya konsekuensi yang merusak atau kerugian yang sudah diperkirakan (hilangnya nyawa, cederanya orang-orang, terganggunya harta benda, penghidupan dan aktivitas ekonomi, atau rusaknya lingkungan) yang diakibatkan oleh adanya interaksi antara bahaya yang ditimbulkan alam atau diakibatkan manusia serta kondisi yang rentan (ISDR, 2004 dalam MPBI, 2007).
4.      Cara untuk memperhitungakan resiko bencana adalah dengan melakukan pendekatan ekologi dan pendekatan keruangan yang berdasarkan atas analisa ancaman (hazard), kerentanan dan kapasitas sehingga dapat dibuat hubungannya untuk menilai resiko bencana dengan rumus:
RB = HxV/C, dimana
RB: Resiko bencana
H: Hazard (bahaya)
V: Vulnerability (kerentanan)
C: Capasity (kemampuan)






















 

Little Forester Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template