Sabtu, 14 November 2015

“Polluter Pays Principle dalam kajian Hukum Lingkungan di Indonesia”

“Polluter Pays Principle dalam kajian Hukum Lingkungan di Indonesia”

Polluter Pays Principle (Prinsip Pencemar Membayar)

Pertumbuhan tata pengaturan secara hukum lingkungan modern diawali setelah lahirnya deklarasi tentang lingkungan hidup tahun 1972 sebagai hasil dari konferensi PBB tentang lingkungan hidup manusia di Stockholm yang merupakan wujud nyata dari pembangunan kesadaran umat manusia terhadap masalah lingkungan hidup. Deklarasi tentang lingkungan hidup tersebut berisi 26 asas pelestarian dan pengembangan lingkungan hidup yang dilandasi oleh 7 pokok pertimbangannya.
Deklarasi Stockholm yang menghasilkan asas-asas pelestarian dan pengembangan lingkungan hidup bukan merupakan suatu asas-asas yang harus ada dalam hukum lingkungan negara Indonesia. Untuk dapat mengembangkannya menjadi asas-asas hukum lingkungan nasional maka pengaturan kebijakan dalam asas-asas pelestarian dan pengembangan lingkungan hidup tersebut perlu diolah dahulu untuk kemudian dapat dituangkan ke dalam asas hukum lingkungan Indonesia. Oleh karena itu, deklarasi Stockholm hanya menjadi referensi bagi pengembangan hukum lingkungan dan tata pengaturannya.
Munadjat Danusaputro (1985) menyatakan bahwa dalam 26 asas yang dideklarasikan dalam deklarasi Stockholm tersebut, hanya ada satu asas yang secara khusus menyebut dan merujuk pada arah pengembangan hukum lingkungan, Asas tersebut adalah asas ke 22. Kemudian asas tersebut didukung oleh asas ke 17 dan asas 21 dalam pelaksanaanya secara nasional maupun internasional.
Asas 22 deklarasi Stockholm berbunyi: “state shall co-operate to develop further the international law regarding liability and compensation for the victims of pollution and other environmental damage caused by activities within the juruisdiction or control of such states to areas beyond their jurisdiction”, (Negara-negara akan bekerjasama dalam mengembangkan lebih lanjut hukum internasional mengenai tanggung jawab hukum (tanggung gugat) dan ganti rugi terhadap para korban pencemaran atau kerusakan lingkungan akibat kegiatan dalam wilayah kewenangan atau pengawasan negara yang bersangkutan kepada wilayah di luar kewenangnnya).
Dalam rangka hari lingkungan hidup, 5 Juni 2006, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) menuntut adanya perbaikan pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam dengan pendekatan yang lebih komprehensif dengan mendasarkan pada penerapan asas-asas umum kebijaksanaan lingkungan yakni prinsip pencemar membayar (polluter pays principle) melalui pengembangan kebijaksanaan pemberian insentif pajak pemasukan alat pengelolah limbah bagi industri yang taat lingkungan,insentif lain bagi pengembangan industri yang melakukan daur ulang (reused, recycling).
Hukum internasional telah lama mengatur soal kewajiban bagi pelaku pencemaran lingkungan yang melewati batas suatu negara atau satu pihak ke pihak lainnya. Dikenal dengan istilah Transfrontier Pollution (TFP). Sejak awal dekade 1970an, permasalahan ini telah sering terjadi sehingga menimbulkan pemikiran tentang perlunya kesepakatan yang mengatur sekaligus mengatasi masalah tersebut. Contoh perjanjian yang telah disepakati yang mengatur masalah TFP ini adalah Perjanjian Brussel tentang intervensi di lautan terbuka terkait korban pencemaran minyak (Brussels Convention Relating to Intervention on The High Seas In Cases of Oil Pollution Casualties) serta perjanjian pertanggungan sipil untuk kerusakan karena pencemaran minyak (Convention on Civil liability for Oil Pollution Damage).
Dua perjanjian itu dilatarbelakangi dengan terjadinya peristiwa kandasnya kapal tanker minyak Torrey Canyon di lepas pantai Inggris pada tahun 1967. Kedua perjanjian di atas menjadi pokok yang penting dalam pengaturan lingkungan hidup yang bersifat public goods atau barang umum seperti udara, air, dan lautan.
E.J. Mishan dalam the cost of economic growth pada tahun enam puluhan memperkenalkan polluter pays principle (prinsip pencemar membayar) yang menyebutkan bahwa pencemar semata-mata merupakan seseorang yang berbuat pencemaran yang seharusnya dapat dihindarinya. Prinsip ini pada awal tahun 1972 mulai dianut oleh negara anggota organisasi kerjasama ekonomi dan pembangunan (organitation of economic co-operation and development / OECD) yang pada intinya menyebutkan bahwa pencemar harus membayar biaya pencegahan dan penanggulangan pencemaran yang ditimbulkan (Rangkuti 2000). Prinsip pencemar membayar (polluter pays principle) mengharuskan pada pihak pelaku pencemaran membayar dan bertanggung jawab terhadap setiap kerusakan lingkungan yang terjadi akibat aktivitasnya, tidak peduli apakah  telah mengikuti standar lingkungan atau tidak.
Dasar dari pengenaan pungutan atau pajak lingkungan adalah kenyataan bahwa harga suatu barang seharusnya mencerminkan seluruh biaya produksinya, termasuk harga dari seluruh faktor produksi yang digunakan. Jadi, penggunaan sumberdaya lingkungan seperti air, udara, maupun tanah (untuk wadah pembuangan limbah maupun untuk memyimpan limbah sementara) sama artinya dengan penggunaan faktor produksi yang lain seperti tenaga kerja dan bahan-bahan mentah dalam faktor produksi. Tanpa suatu sistem penentuan harga yang tepat, akan terjadi pemanfaatan lingkungan secara berlebihan sembagai tempat pembuangan limbah serta eksploitasi sumberdaya alam yang besar pula untuk masukan produksi. Untuk mencegah terjadinya eksploitasi sumberdaya alam dan lingkungan yang berlebihkan diterapkanlah Prinsip Pencemar harus Membayar (polluter pays principle). Prinsip pencemar membayar ini mencoba menetralkan kelemahan dari mekanisme pasar yang menimbulkan kegagalan pasar dalam mengakomodasi biaya eksternal atau biaya lingkungan. Jadi, prinsip pencemar membayar ini berusaha untuk memasukkan biaya eksternal ke dalam pertimbangan perusahaan pencemar dalam perhitungan biaya produksinya (internalising the external costs). Keharusan pencemar dalam untuk membayar pungutan yang sama besarnya dengan setiap unit tambahan limbah akan mendorong tercapainya alokasi biaya yang efektif.
 Prinsip pencemar membayar (polluter pays principle) dalam implementasinya memerlukan dua pendekatan kebijakan yang berbeda yaitu command and control dan market-based.
Seorang pakar ekonomi, John Maddox memberikan argumentasi bahwa pencemaran akan dapat dipecahkan dengan menghitung ongkos-ongkos yang timbul (price) dan merupakan masalah ekonomi. Lebih lanjut diuraikan bahwa ”we can reduce pollution if we are prepared to pay for it“, yang dapat dipahami bahwa seberapa besar kemampuan membayar baik dengan program untuk menciptakan alat pencegah pencemaran (anti pollution) maupun secara tidak langsung dengan membayar kerugian yang disebabkan oleh pencemaran (Silalahi 1996). Asas pencemar membayar (polluter pays principle) ini lebih menekankan pada segi ekonomi daripada segi hukum, karena mengatur mengenai kebijaksanaan atas penghitungan nilai kerusakan dan pembebanannya. OECD memberikan definisi : “the polluter should bear the expenses of carrying out measures decided by publik authorities to ensure that the environment is in “acceptable state” or in other words the cost of these measures should be reflected in the cost of goods and services which cause pollution in production and or in consumption.”
Studi yang dilakukan OECD dalam menghadapi masalah pengendalian pencemaran, menyimpulkan terdapat dua aliran utama, yaitu:
1).    Golongan yang menginginkan pengendalian langsung dengan satu-satunya strategi adalah diberlakukannya peraturan terhadap para pencemar, terutama mengenai standar emisi, dan
2).    Golongan yang lebih menyukai pendekatan ekonomi. Golongan ini mengemukakan, berbagai sumber daya alam terbuang sia-sia karena dianggap gratis atau kurang dipertimbangkan. Mereka menganggap perlu ditetapkannya “harga wajar“ yang meliputi pula pungutan pencemaran.
Dari sudut pandang ekonomi, pungutan merupakan instrumen pengendalian pencemaran yang paling efektif. Karena pungutan merupakan insentif permanen guna mengurangi pencemaran dan menekan biaya penanggulangan. Namun anggapan tersebut dibantah, yang menganggap biaya pungutan sama dengan biaya pembelian hak untuk mencemari. Argumen tersebut disanggah dengan adanya kenyataan bahwa pungutan pencemaran yang diperhitungkan secara tepat dapat mendorong pencemar untuk mengurangi emisi karena dengan jalan tersebut penanggulangan limbah akan lebih murah daripada mencemarkan dan kemudian membayar tuntutan ganti rugi akibat pencemaran.
Prinsip pencemar membayar merupakan penjabaran dari teoriteori ekonomi tentang lingkungan (environmental economics) dimana pencemaran/kerusakan lingkungan dianggap sebagai sebuah bentuk kegagalan pasar (market failure) yang menimbulkan inefisiensi. Pencemaran lingkungan menunjukkan  private costs ≠ social costs, yaitu bahwa biayabiaya lingkungan tidak dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan. Hal ini disebut sebagai eksternalitas.
Instrumen untuk menerapkan Prinsip Pencemar Membayar, antara lain:
1.      Sistem pertanggung jawaban: negligence versus strict liability bertujuan agar ganti rugi yang diberikan harus mampu melindungi kepentingan para korban dan memberikan insentif kepada calon pencemar untuk bertindak secara hati-hati
a.      Negligence
·         Pencemar bertanggungjawab jika ia tidak optimal mengambil langkah-langkah pencegahan (optimal care), sehingga pencemar yang rasional akan mengambil langkah optimal sepanjang biaya biaya ganti rugi lebih besar dari pada biaya pencegahan optimal
b.      Strict liability
·         Pencemar bertanggungjawab manakala timbul kerugian (tanpa melihat apakah ia telah mengambil langkah pencegahan secara optimal atau tidak).
·         Pencemar akan melakukan pencegahan sebanyak mungkin karena kerugian akan semakin berkurang ketika pencegahan semakin banyak dilakukan
Kebijakan berdasarkan prinsip pencemar membayar harus memudahkan masyarakat untuk melindungi lingkungan tanpa mengorbankan efisiensi dari sistem ekonomi pasar bebas. Empat hal yang harus dijawab dalam PPP adalah 1) Apa yang dicemarkan?, 2) Siapa pencemar, 3) Berapa banyak yang harus dibayar pencemar?, dan 3) Untuk siapa pencemar membayar? (Cordato 2001). Pencemar disini dapat berupa perorangan, perusahan, maupun organisasi.
Terdapat tiga pokok pikiran yang terkandung dalam prinsip pencemar membayar. Pertama, penegasan pada tanggung jawab bersama dan sama tiap-tiap negara untuk melindungi lingkungan hidup baik pada pada tingkat nasional, regional, maupun global. Kedua, perhatian untuk melakukan usaha mencegah, mengurangi dan mengontrol ancaman terhadap lingkungan hidup didasarkan pada perbedaan keadaan masing-masing negara, khususnya dalam hal kontribusi tiap-tiap negara tersebut pada terjadinya pertambahan intensitas ancaman terhadap lingkungan hidup dan atau kerusakan lingkungan hidup yang terjadi. Ketiga, bahwa prinsip kebijakan lingkungan yang mengharuskan biaya pencemaran harus ditanggung oleh mereka yang menyebabkan itu.



 

Polluter Pays Principle dalam Perkembangan Hukum Lingkungan di Indonesia

Dalam perkembangan hukum di Indonesia, prinsip pencemar membayar (polluter pays principle ) tidak hanya melingkupi instrumen ekonomi, melainkan telah masuk pada instrumen hukum. Dalam hukum positif yang mengatur perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang berlaku saat ini yaitu Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlingdungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH), prinsip pencemar membayar telah diadopsi kedalam Undang undang tersebut. Pasal 2 Undang-undang Lingkungan Hidup Nomor 32 Tahun 2009 menyebutkan “Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan berdasarkan 14 asas, yaitu:
1).        Tanggung jawab Negara;
2).        Kelestarian dan keberlanjutan;
3).        Keserasian dan keseimbangan;
4).        Keterpaduan;
5).        Manfaat;
6).        Kehati-hatian;
7).        Keadilan;
8).        Ekoregion;
9).        Kenekaragaman hayati;
10).    Pencemar membayar;
11).    Partisipatif;
12).    Kearifan local;
13).    Tata kelola pemerintahan yang baik; dan
14).    Otonomi daerah.
Dalam penjelasan Undang-undang mengenai prinsip pencemar membayar yang tercantum pada pasal 2 huruf (J), yang dimaksud dengan asas pencemar membayar (polluter pays principle) adalah “bahwa setiap penanggung jawab yang usaha dan/ atau kegiatannya menimbulkan pencemaran dan/ atau kerusakan lingkungan hidup wajib menanggung biaya pemulihan lingkungan”.
Pasal 42 ayat (1) Dalam rangka melestarikan fungsi lingkungan hidup, pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengembangkan dan menerapkan instrumen ekonomi lingkungan hidup” yang kemudian diterangkan pada Pasal 42 ayat (2) “Instrumen ekonomi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi a) perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi; b) pendanaan lingkungan hidup; dan c) insentif dan/atau disinsentif. Kemudian lebih lanjut diterangkan pada pasal 43 bahwa instrumen perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi salah satunya meliputi internalisasi biaya lingkungan hidup yaitu memasukkan biaya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dalam perhitungan biaya produksi atau biaya suatu usaha dan/atau kegiatan, serta yang dimaksud dengan insentif dan/atau disinsentif yaitu  pemberian insentif ekonomi pada pemilik kegiatan yang taat kepada persyaratan lingkungan dapat merangsang penaatan, terutama bagi perusahaan milik negara yang penerapannya antara lain melalui penerapan pajak, retribusi, dan subsidi
lingkungan hidup. Sebaliknya kegiatan/atau usaha yang tidak taat akan dikenakan disinsentif berupa pungutan Hal ini muncul karena selama ini lingkungan tidak diberi nilai/harga maka dalam perkembanganya manusia atau badan hukum (terutama yang berorintasi profit) banyak menggunakan SDA secara berlebihan dan cenderung membabat habis tanpa berpikir akibat bagi generasi yang akan datang. Tentu yang tersisa hanya derita dan bencana yang harus ditanggung baik harga, benda dan nyawa. Untuk itu, usaha memberi suatu biaya lingkungan yang ada pada pasal 42-43 UU No 32 Tahun 2009 ini menjadi langkah awal untuk mereformasi dari UU sebelumnya yakni UU No 23 Tahun 1997 tentang PLH. Gagasan yang terkandung dalam pasal tersebut, sebagai penjawantaan dari prinsip biaya lingkungan dan sosial yang terintegrasikan ke dalam proses pengambilan keputusan yang berkiatan dengan penggunaan SDA , sehingga pada akhirnya terjadi internalisasi “eksertenalitas” dalam arti ekserternalitas harus menjadi bagian dari pengambilan keputusan. Dengan memanfaatkan instrumen yang ada di UU tersebut berupa pengaturan (larangan dan sanksi), charge, fees, leasing, perijinan, mekanisme property right dan lain-lain.
Pasal 87 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009, juga menyebutkan bahwa “Setiap penanggung jawab usaha dan atau / kegiatan yang melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan atau / perusakan lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan atau / melakukan tindakan tertentu”. Dalam penjelasan Pasal 87 ayat (1) tersebut diterangkan:
”Ketetuan dalam ayat ini merupakan realisasi asas yang ada dalam hukum lingkungan hidup yang disebut asas pencemar membayar (polluter pays principle). Selain diharuskan membayar ganti rugi, pencemar dan atau / perusak lingkungan hidup dapat pula dibebani oleh hakim untuk melakukan tindakan hukum tertentu, misalnya perintah untuk :
1).    Memasang atau memperbaiki unit pengolahan limbah sehingga limbah sesuai dengan baku mutu lingkungan hidup yang ditentukan;
2).    Memulihkan fungsi lingkungan hidup; dan / atau
3).    Menghilangkan atau memusnahkan penyebab timbulnya pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup .
Penjelasan pasal tersebut telah memberikan gambaran bahwa asas-asas yang berkembang dan berpengaruh dalam hukum lingkungan internasional, beberapa diantaranya telah diadopsi dalam Undang-undang lingkungan Indonesia agar tercipta kemajuan ekonomi dan pembangunan tanpa mengabaikan lingkungan. Mengenai ganti rugi yang harus dibayarkan pencemar terhadap dampak yang timbul akibat pencemaran, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 13 Tahun 2011 tentang Ganti Rugi Akibat Pencemaran dan/ atau Perusakan Lingkungan memberikan pedoman bagi penyelesaian sengketa lingkungan baik melalui pengadilan maupun di luar pengadilan. Peraturan menteri tersebut mengintrodusir komponen-komponen yang harus dimasukan dalam penghitungan ganti rugi baik individu maupun lingkungan.
Oleh karena itu, bagi pelaku usaha yang memiliki izin, manakala aktivitas tersebut menimbulkan kerusakan lingkungan karena telah melampaui atau melanggar baku mutu kerusakan lingkungan yang ditetapkan, maka kepada perusahaan tersebut harus dikenakan sanksi berupa membayar sejumlah uang (uang paksa/dwangsom), bukan denda administratif, yang ditetapkan oleh pemerintah (daerah), tanpa harus melalui proses persidangan (gugatan di pengadilan). Sanksi yang diberikan bersifat langsung, setelah dilakukan penghitungan oleh tim ahli (akuntan) tentang besarnya uang yang wajib dibayar yang setara dengan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan.
Terhadap pelaku usaha yang tidak memiliki izin (PETI), tanpa harus mengkaji apakah telah melanggar baku mutu kerusakan atau tidak, pelaku kegiatan tambang tersebut harus dikenakan kewajiban membayar uang paksa guna merehabilitasi lingkungan yang rusak akibat dari aktivitas tambang tersebut. Selain itu, kepada pelaku juga dapat dikenakan sanksi yang lain sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Secara teori, instrumen ekonomi menjanjikan hasil yang baik terhadap penaatan hukum lingkungan. Dalam prakteknya, belum adanya peraturan pelaksana terkait instrumen ekonomi yang menyebabkan kegagapan pemerintah dalam penerapannya dan keengganan pelaku usaha untuk melaksanakannya. Dari sekian banyak bentuk instrumen ekonomi yang diatur dalam UUPPLH, hanya 4 bentuk instrumen ekonomi yang mulai dapat dilihat penerapannya di Indonesia, yaitu:
1.      Pajak dan subsidi Lingkungan. Bentuk ini yang paling mudah dipahami dan diterapkan, walaupun tidak diatur secara khusus. Beberapa peraturan pemerintah dan peraturan daerah memasukkan instrumen ini sebagai bentuk insentif dan disinsentif dalam peraturan terkait. Contohnya adalah dalam peraturan mengenai pajak bumi dan bangunan, diberikan insentif pemotongan pajak bagi bangunan ramah lingkungan, juga dalam peraturan mengenai pajak kendaraan diberikan subsidi bagi kendaraan ramah lingkungan.
2.      Perdagangan izin pembuangan limbah dan/atau emisi. Mekanisme ini diwujudkan dalam bentuk mekanisme REDD yang masih menghadapi berbagai kendala dalam pelaksanaannya.
3.      Pembayaran jasa lingkungan. Mekanisme imbal jasa lingkungan antar pemerintah daerah telah dilakukan terutama terkait dengan pengelolaan sampah di kota-kota besar. Contohnya Pemerintah Kota Bandung memberikan imbal jasa bagi Pemerintah Kabupaten Bandung yang menyediakan Tempat Pembuangan Sampah Akhir bagi sampah Kota Bandung. Pembayaran jasa lingkungan juga mulai diinternalisasikan dalam retribusi kawasan wisata alam seperti yang dilakukan di kawasan wisata Kawah Putih, Kabupaten Bandung.
4.      Label Ramah lingkungan. Sudah banyak produk-produk yang menggunakan label ramah lingkungan, tetapi hal ini belum menjadi pertimbangan utama masyarakat Indonesia dalam membeli suatu produk. Meskipun demikian, penggunaan label ini cukup menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan besar di Indonesia mulai menempatkan pertimbangan lingkungan sebagai poin penting dalam manajemen perusahaannya.
Dari keempat bentuk instrumen ekonomi tersebut diatas. Jasa lingkungan dan label ramah lingkungan masih diperdebatkan posisinya apakah bagian dari instrumen ekonomi atau bukan. Beberapa kalangan berpendapat bahwa instrumen ekonomi, sebagaimana teori-teori yang disebutkan diatas hanya terdiri atas pajak, deposit refund system, treadable permit, dan subsidi, sisanya adalah praktek ekonomi yang diberi label ramah lingkungan. Di luar perdebatan yang terjadi, dari sudut pandang penaatan hukum yang tujuannya adalah diterapkannya persyaratan lingkungan oleh para pemangku kepentingan, instrument ekonomi memiliki peran yang signifikan.     

KESIMPULAN
1.      Penerapan prinsip pencemar membayar tidak hanya berarti bahwa pencemar membayar biaya atau ganti rugi atas kerusakan yang ditimbulkan, tetapi juga pengeluaran biaya yang digunakan untuk mencegah adanya kerusakan/pencemaran tersebut.
2.      Instrumen ekonomi, termasuk penerapan prinsip pencemar membayar, menempati posisi strategis dalam penaatan hukum lingkungan, tetapi penerapan instrumen ini mensyaratkan beberapa hal, yaitu :
a.       Dukungan pemerintah melalui pembentukan peraturan pelaksana
b.      Mekanisme dan penentuan organisasi pelaksana yang jelas
c.       Sosialisasi yang baik mengenai bentuk-bentuk instrument ekonomi
Ketiga hal ini hanya bisa didapat jika paradigma pembangunan berkelanjutan tidak hanya menjadi slogan, melainkan telah menjadi arus utama dalam pengambilan keputusan. Hal paling mendesak yang harus dilakukan adalah menetapkan Peraturan Pemerintah mengenai Instrumen ekonomi. Ditetapkannya Peraturan Pemerintah mengenai Instrumen Ekonomi ini dapat memberikan panduan bagi penerapan instrument ekonomi di Indonesia.


1 komentar:

 

Little Forester Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template