“Polluter Pays
Principle dalam kajian Hukum Lingkungan di Indonesia”
Polluter Pays Principle (Prinsip Pencemar Membayar)
Pertumbuhan
tata pengaturan secara hukum lingkungan modern diawali setelah lahirnya
deklarasi tentang lingkungan hidup tahun 1972 sebagai hasil dari konferensi PBB
tentang lingkungan hidup manusia di Stockholm yang merupakan wujud nyata dari
pembangunan kesadaran umat manusia terhadap masalah lingkungan hidup. Deklarasi
tentang lingkungan hidup tersebut berisi 26 asas pelestarian dan pengembangan
lingkungan hidup yang dilandasi oleh 7 pokok pertimbangannya.
Deklarasi
Stockholm yang menghasilkan asas-asas pelestarian dan pengembangan lingkungan
hidup bukan merupakan suatu asas-asas yang harus ada dalam hukum lingkungan
negara Indonesia. Untuk dapat mengembangkannya menjadi asas-asas hukum
lingkungan nasional maka pengaturan kebijakan dalam asas-asas pelestarian dan
pengembangan lingkungan hidup tersebut perlu diolah dahulu untuk kemudian dapat
dituangkan ke dalam asas hukum lingkungan Indonesia. Oleh karena itu, deklarasi
Stockholm hanya menjadi referensi bagi pengembangan hukum lingkungan dan tata
pengaturannya.
Munadjat
Danusaputro (1985) menyatakan bahwa dalam 26 asas yang dideklarasikan dalam
deklarasi Stockholm tersebut, hanya ada satu asas yang secara khusus menyebut
dan merujuk pada arah pengembangan hukum lingkungan, Asas tersebut adalah asas
ke 22. Kemudian asas tersebut didukung oleh asas ke 17 dan asas 21 dalam
pelaksanaanya secara nasional maupun internasional.
Asas
22 deklarasi Stockholm berbunyi: “state
shall co-operate to develop further the international law regarding liability
and compensation for the victims of pollution and other environmental damage
caused by activities within the juruisdiction or control of such states to
areas beyond their jurisdiction”, (Negara-negara akan bekerjasama dalam
mengembangkan lebih lanjut hukum internasional mengenai tanggung jawab hukum
(tanggung gugat) dan ganti rugi terhadap para korban pencemaran atau kerusakan
lingkungan akibat kegiatan dalam wilayah kewenangan atau pengawasan negara yang
bersangkutan kepada wilayah di luar kewenangnnya).
Dalam rangka hari lingkungan hidup, 5 Juni 2006, Indonesian Center for Environmental Law
(ICEL) menuntut adanya perbaikan pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam
dengan pendekatan yang lebih komprehensif dengan mendasarkan pada penerapan
asas-asas umum kebijaksanaan lingkungan yakni prinsip pencemar membayar (polluter pays principle) melalui
pengembangan kebijaksanaan pemberian insentif pajak pemasukan alat pengelolah
limbah bagi industri yang taat lingkungan,insentif lain bagi pengembangan
industri yang melakukan daur ulang (reused,
recycling).
Hukum
internasional telah lama mengatur soal kewajiban bagi pelaku pencemaran
lingkungan yang melewati batas suatu negara atau satu pihak ke pihak lainnya.
Dikenal dengan istilah Transfrontier
Pollution (TFP). Sejak awal dekade 1970an, permasalahan ini telah sering
terjadi sehingga menimbulkan pemikiran tentang perlunya kesepakatan yang
mengatur sekaligus mengatasi masalah tersebut. Contoh perjanjian yang telah
disepakati yang mengatur masalah TFP ini adalah Perjanjian Brussel tentang
intervensi di lautan terbuka terkait korban pencemaran minyak (Brussels Convention Relating to Intervention
on The High Seas In Cases of Oil Pollution Casualties) serta perjanjian
pertanggungan sipil untuk kerusakan karena pencemaran minyak (Convention on Civil liability for Oil
Pollution Damage).
Dua
perjanjian itu dilatarbelakangi dengan terjadinya peristiwa kandasnya kapal
tanker minyak Torrey Canyon di lepas pantai Inggris pada tahun 1967. Kedua
perjanjian di atas menjadi pokok yang penting dalam pengaturan lingkungan hidup
yang bersifat public goods atau
barang umum seperti udara, air, dan lautan.
E.J.
Mishan dalam the cost of economic growth pada tahun enam puluhan
memperkenalkan polluter pays principle (prinsip pencemar membayar) yang
menyebutkan bahwa pencemar semata-mata merupakan seseorang yang berbuat
pencemaran yang seharusnya dapat dihindarinya. Prinsip ini pada awal tahun 1972
mulai dianut oleh negara anggota organisasi kerjasama ekonomi dan pembangunan (organitation
of economic co-operation and development / OECD) yang pada intinya
menyebutkan bahwa pencemar harus membayar biaya pencegahan dan penanggulangan
pencemaran yang ditimbulkan (Rangkuti 2000). Prinsip pencemar membayar (polluter pays principle) mengharuskan pada
pihak pelaku pencemaran membayar dan bertanggung jawab terhadap setiap
kerusakan lingkungan yang terjadi akibat aktivitasnya, tidak peduli
apakah telah mengikuti standar lingkungan atau tidak.
Dasar dari pengenaan pungutan atau pajak lingkungan
adalah kenyataan bahwa harga suatu barang seharusnya mencerminkan seluruh biaya
produksinya, termasuk harga dari seluruh faktor produksi yang digunakan. Jadi, penggunaan
sumberdaya lingkungan seperti air, udara, maupun tanah (untuk wadah pembuangan
limbah maupun untuk memyimpan limbah sementara) sama artinya dengan penggunaan
faktor produksi yang lain seperti tenaga kerja dan bahan-bahan mentah dalam
faktor produksi. Tanpa suatu sistem penentuan harga yang tepat, akan terjadi
pemanfaatan lingkungan secara berlebihan sembagai tempat pembuangan limbah
serta eksploitasi sumberdaya alam yang besar pula untuk masukan produksi. Untuk
mencegah terjadinya eksploitasi sumberdaya alam dan lingkungan yang berlebihkan
diterapkanlah Prinsip Pencemar harus Membayar (polluter pays principle). Prinsip pencemar membayar
ini mencoba menetralkan kelemahan dari mekanisme pasar yang menimbulkan
kegagalan pasar dalam mengakomodasi biaya eksternal atau biaya lingkungan.
Jadi, prinsip pencemar membayar ini berusaha untuk memasukkan biaya eksternal
ke dalam pertimbangan perusahaan pencemar dalam perhitungan biaya produksinya (internalising
the external costs). Keharusan pencemar dalam untuk membayar pungutan yang
sama besarnya dengan setiap unit tambahan limbah akan mendorong tercapainya
alokasi biaya yang efektif.
Prinsip
pencemar membayar (polluter pays principle) dalam implementasinya memerlukan dua
pendekatan kebijakan yang berbeda yaitu command and control dan market-based.
Seorang
pakar ekonomi, John Maddox memberikan argumentasi bahwa pencemaran akan dapat
dipecahkan dengan menghitung ongkos-ongkos yang timbul (price) dan
merupakan masalah ekonomi. Lebih lanjut diuraikan bahwa ”we can reduce
pollution if we are prepared to pay for it“, yang dapat dipahami bahwa
seberapa besar kemampuan membayar baik dengan program untuk menciptakan alat
pencegah pencemaran (anti pollution) maupun secara tidak langsung dengan
membayar kerugian yang disebabkan oleh pencemaran (Silalahi 1996). Asas
pencemar membayar (polluter pays principle) ini lebih menekankan pada
segi ekonomi daripada segi hukum, karena mengatur mengenai kebijaksanaan atas
penghitungan nilai kerusakan dan pembebanannya. OECD memberikan definisi : “the
polluter should bear the expenses of carrying out measures decided by publik
authorities to ensure that the environment is in “acceptable state” or in other
words the cost of these measures should be reflected in the cost of goods and
services which cause pollution in production and or in consumption.”
Studi
yang dilakukan OECD dalam menghadapi masalah pengendalian pencemaran,
menyimpulkan terdapat dua aliran utama, yaitu:
1).
Golongan
yang menginginkan pengendalian langsung dengan satu-satunya strategi adalah
diberlakukannya peraturan terhadap para pencemar, terutama mengenai standar
emisi, dan
2).
Golongan
yang lebih menyukai pendekatan ekonomi. Golongan ini mengemukakan, berbagai
sumber daya alam terbuang sia-sia karena dianggap gratis atau kurang
dipertimbangkan. Mereka menganggap perlu ditetapkannya “harga wajar“ yang
meliputi pula pungutan pencemaran.
Dari
sudut pandang ekonomi, pungutan merupakan instrumen pengendalian pencemaran yang
paling efektif. Karena pungutan merupakan insentif permanen guna mengurangi
pencemaran dan menekan biaya penanggulangan. Namun anggapan tersebut dibantah,
yang menganggap biaya pungutan sama dengan biaya pembelian hak untuk mencemari.
Argumen tersebut disanggah dengan adanya kenyataan bahwa pungutan pencemaran
yang diperhitungkan secara tepat dapat mendorong pencemar untuk mengurangi
emisi karena dengan jalan tersebut penanggulangan limbah akan lebih murah
daripada mencemarkan dan kemudian membayar tuntutan ganti rugi akibat
pencemaran.
Prinsip
pencemar membayar merupakan penjabaran dari teori‐teori ekonomi tentang lingkungan
(environmental economics) dimana
pencemaran/kerusakan lingkungan dianggap sebagai sebuah bentuk kegagalan pasar (market
failure) yang menimbulkan inefisiensi. Pencemaran lingkungan menunjukkan
private costs ≠ social costs, yaitu
bahwa biaya‐biaya
lingkungan tidak dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan. Hal ini disebut
sebagai eksternalitas.
Instrumen
untuk menerapkan Prinsip Pencemar Membayar, antara lain:
1.
Sistem
pertanggung jawaban: negligence versus
strict liability bertujuan agar ganti rugi yang diberikan harus mampu
melindungi kepentingan para korban dan memberikan insentif kepada calon
pencemar untuk bertindak secara hati-hati
a.
Negligence
·
Pencemar
bertanggungjawab jika ia tidak optimal mengambil langkah-langkah pencegahan (optimal care), sehingga pencemar yang
rasional akan mengambil langkah optimal sepanjang biaya biaya ganti rugi lebih
besar dari pada biaya pencegahan optimal
b.
Strict liability
·
Pencemar
bertanggungjawab manakala timbul kerugian (tanpa melihat apakah ia telah
mengambil langkah pencegahan secara optimal atau tidak).
·
Pencemar
akan melakukan pencegahan sebanyak mungkin karena kerugian akan semakin
berkurang ketika pencegahan semakin banyak dilakukan
Kebijakan
berdasarkan prinsip pencemar membayar harus memudahkan masyarakat untuk
melindungi lingkungan tanpa mengorbankan efisiensi dari sistem ekonomi pasar
bebas. Empat hal yang harus dijawab dalam PPP adalah 1) Apa yang dicemarkan?,
2) Siapa pencemar, 3) Berapa banyak yang harus dibayar pencemar?, dan 3) Untuk
siapa pencemar membayar? (Cordato 2001). Pencemar disini dapat berupa perorangan, perusahan,
maupun organisasi.
Terdapat
tiga pokok pikiran yang terkandung dalam prinsip pencemar membayar. Pertama,
penegasan pada tanggung jawab bersama dan sama tiap-tiap negara untuk
melindungi lingkungan hidup baik pada pada tingkat nasional, regional, maupun
global. Kedua, perhatian untuk melakukan usaha mencegah, mengurangi dan
mengontrol ancaman terhadap lingkungan hidup didasarkan pada perbedaan keadaan
masing-masing negara, khususnya dalam hal kontribusi tiap-tiap negara tersebut
pada terjadinya pertambahan intensitas ancaman terhadap lingkungan hidup dan
atau kerusakan lingkungan hidup yang terjadi. Ketiga, bahwa prinsip kebijakan
lingkungan yang mengharuskan biaya pencemaran harus ditanggung oleh mereka yang
menyebabkan itu.
Polluter Pays Principle dalam Perkembangan Hukum Lingkungan di Indonesia
Dalam perkembangan hukum di Indonesia, prinsip pencemar
membayar (polluter pays principle ) tidak hanya melingkupi instrumen
ekonomi, melainkan telah masuk pada instrumen hukum. Dalam hukum positif yang
mengatur perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang berlaku saat ini
yaitu Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlingdungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (UUPPLH), prinsip
pencemar membayar telah diadopsi kedalam Undang undang tersebut. Pasal 2
Undang-undang Lingkungan Hidup Nomor 32 Tahun 2009 menyebutkan “Perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan berdasarkan 14 asas, yaitu:
1).
Tanggung jawab Negara;
2).
Kelestarian dan keberlanjutan;
3).
Keserasian dan keseimbangan;
4).
Keterpaduan;
5).
Manfaat;
6).
Kehati-hatian;
7).
Keadilan;
8).
Ekoregion;
9).
Kenekaragaman hayati;
10).
Pencemar membayar;
11).
Partisipatif;
12).
Kearifan local;
13).
Tata kelola pemerintahan yang baik; dan
14).
Otonomi daerah.
Dalam penjelasan Undang-undang mengenai prinsip
pencemar membayar yang tercantum pada pasal 2 huruf (J), yang dimaksud dengan
asas pencemar membayar (polluter pays principle) adalah “bahwa
setiap penanggung jawab yang usaha dan/ atau kegiatannya menimbulkan pencemaran
dan/ atau kerusakan lingkungan hidup wajib menanggung biaya pemulihan
lingkungan”.
Pasal 42 ayat (1) “Dalam rangka
melestarikan fungsi lingkungan hidup, pemerintah dan pemerintah daerah wajib
mengembangkan dan menerapkan instrumen ekonomi lingkungan hidup”
yang kemudian diterangkan pada Pasal 42 ayat (2) “Instrumen ekonomi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi a) perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi; b)
pendanaan lingkungan hidup; dan c) insentif
dan/atau disinsentif. Kemudian lebih lanjut diterangkan pada
pasal 43 bahwa instrumen perencanaan
pembangunan dan kegiatan ekonomi salah satunya
meliputi internalisasi
biaya lingkungan hidup yaitu memasukkan biaya pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup dalam perhitungan biaya produksi atau biaya suatu usaha
dan/atau kegiatan, serta yang dimaksud dengan insentif dan/atau disinsentif yaitu pemberian insentif ekonomi pada pemilik kegiatan yang taat
kepada persyaratan lingkungan dapat merangsang penaatan, terutama bagi
perusahaan milik negara yang penerapannya antara lain melalui penerapan
pajak, retribusi, dan subsidi
lingkungan hidup. Sebaliknya kegiatan/atau usaha yang
tidak taat akan dikenakan disinsentif berupa pungutan Hal ini muncul karena selama ini lingkungan tidak
diberi nilai/harga maka dalam perkembanganya manusia atau badan hukum (terutama
yang berorintasi profit) banyak menggunakan SDA secara berlebihan dan cenderung
membabat habis tanpa berpikir akibat bagi generasi yang akan datang. Tentu yang
tersisa hanya derita dan bencana yang harus ditanggung baik harga, benda dan
nyawa. Untuk itu, usaha memberi suatu biaya lingkungan yang ada pada pasal
42-43 UU No 32 Tahun 2009 ini menjadi langkah awal untuk mereformasi dari UU
sebelumnya yakni UU No 23 Tahun 1997 tentang PLH. Gagasan yang terkandung dalam
pasal tersebut, sebagai penjawantaan dari prinsip biaya lingkungan dan sosial
yang terintegrasikan ke dalam proses pengambilan keputusan yang berkiatan
dengan penggunaan SDA , sehingga pada akhirnya terjadi internalisasi
“eksertenalitas” dalam arti ekserternalitas harus menjadi bagian dari
pengambilan keputusan. Dengan memanfaatkan instrumen yang ada di UU tersebut
berupa pengaturan (larangan dan sanksi), charge, fees, leasing, perijinan,
mekanisme property right dan lain-lain.
Pasal 87 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun
2009, juga menyebutkan bahwa “Setiap
penanggung jawab usaha dan atau / kegiatan yang melakukan perbuatan melanggar
hukum berupa pencemaran dan atau / perusakan lingkungan hidup wajib membayar
ganti rugi dan atau / melakukan tindakan tertentu”. Dalam penjelasan Pasal 87
ayat (1) tersebut diterangkan:
”Ketetuan dalam ayat ini merupakan realisasi asas
yang ada dalam hukum lingkungan hidup yang disebut asas pencemar membayar (polluter
pays principle). Selain diharuskan membayar ganti rugi, pencemar dan atau /
perusak lingkungan hidup dapat pula dibebani oleh hakim untuk melakukan
tindakan hukum tertentu, misalnya perintah untuk :
1).
Memasang atau memperbaiki unit pengolahan limbah
sehingga limbah sesuai dengan baku mutu lingkungan hidup yang ditentukan;
2).
Memulihkan fungsi lingkungan hidup; dan / atau
3).
Menghilangkan atau memusnahkan penyebab
timbulnya pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup .
Penjelasan pasal tersebut telah memberikan gambaran
bahwa asas-asas yang berkembang dan berpengaruh dalam hukum lingkungan
internasional, beberapa diantaranya telah diadopsi dalam Undang-undang
lingkungan Indonesia agar tercipta kemajuan ekonomi dan pembangunan tanpa
mengabaikan lingkungan. Mengenai ganti rugi yang harus dibayarkan pencemar
terhadap dampak yang timbul akibat pencemaran, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 13 Tahun 2011 tentang Ganti
Rugi Akibat Pencemaran dan/ atau Perusakan
Lingkungan memberikan pedoman bagi penyelesaian sengketa lingkungan baik
melalui pengadilan maupun di luar pengadilan. Peraturan menteri tersebut
mengintrodusir komponen-komponen yang harus dimasukan dalam penghitungan ganti
rugi baik individu maupun lingkungan.
Oleh karena
itu, bagi pelaku usaha yang memiliki izin, manakala aktivitas tersebut menimbulkan
kerusakan lingkungan karena telah melampaui atau melanggar baku mutu kerusakan
lingkungan yang ditetapkan, maka kepada
perusahaan tersebut harus dikenakan sanksi berupa membayar sejumlah uang (uang
paksa/dwangsom), bukan denda administratif, yang ditetapkan oleh
pemerintah (daerah), tanpa harus melalui proses persidangan (gugatan di
pengadilan). Sanksi yang diberikan bersifat langsung, setelah dilakukan
penghitungan oleh tim ahli (akuntan) tentang besarnya uang yang wajib dibayar
yang setara dengan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan.
Terhadap
pelaku usaha yang
tidak memiliki izin (PETI), tanpa harus mengkaji apakah telah melanggar baku
mutu kerusakan atau tidak, pelaku kegiatan tambang tersebut harus dikenakan
kewajiban membayar uang paksa guna merehabilitasi lingkungan yang rusak akibat
dari aktivitas tambang tersebut. Selain itu,
kepada pelaku juga dapat dikenakan sanksi yang lain sesuai dengan ketentuan
yang berlaku.
Secara teori, instrumen ekonomi menjanjikan hasil
yang baik terhadap penaatan hukum lingkungan. Dalam prakteknya, belum adanya peraturan
pelaksana terkait instrumen ekonomi yang menyebabkan kegagapan pemerintah dalam
penerapannya dan keengganan pelaku usaha untuk melaksanakannya. Dari sekian
banyak bentuk instrumen ekonomi yang diatur dalam UUPPLH, hanya 4 bentuk instrumen
ekonomi yang mulai dapat dilihat penerapannya di Indonesia, yaitu:
1.
Pajak dan subsidi Lingkungan. Bentuk ini yang paling mudah
dipahami dan diterapkan, walaupun tidak diatur secara khusus. Beberapa
peraturan pemerintah dan peraturan daerah memasukkan instrumen ini sebagai
bentuk insentif dan disinsentif dalam peraturan terkait. Contohnya adalah dalam
peraturan mengenai pajak bumi dan bangunan, diberikan insentif pemotongan pajak
bagi bangunan ramah lingkungan, juga dalam peraturan mengenai pajak kendaraan
diberikan subsidi bagi kendaraan ramah lingkungan.
2.
Perdagangan
izin pembuangan limbah dan/atau emisi. Mekanisme ini diwujudkan dalam bentuk
mekanisme REDD yang masih menghadapi berbagai kendala dalam pelaksanaannya.
3.
Pembayaran
jasa lingkungan. Mekanisme imbal jasa lingkungan antar pemerintah daerah telah
dilakukan terutama terkait dengan pengelolaan sampah di kota-kota besar.
Contohnya Pemerintah Kota Bandung memberikan imbal jasa bagi Pemerintah
Kabupaten Bandung yang menyediakan Tempat Pembuangan Sampah Akhir bagi sampah
Kota Bandung. Pembayaran jasa lingkungan juga mulai diinternalisasikan dalam
retribusi kawasan wisata alam seperti yang dilakukan di kawasan wisata Kawah
Putih, Kabupaten Bandung.
4.
Label
Ramah lingkungan. Sudah banyak produk-produk yang menggunakan label ramah
lingkungan, tetapi hal ini belum menjadi pertimbangan utama masyarakat
Indonesia dalam membeli suatu produk. Meskipun demikian, penggunaan label ini
cukup menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan besar di Indonesia mulai
menempatkan pertimbangan lingkungan sebagai poin penting dalam manajemen
perusahaannya.
Dari
keempat bentuk instrumen ekonomi tersebut diatas. Jasa lingkungan dan label
ramah lingkungan masih diperdebatkan posisinya apakah bagian dari instrumen
ekonomi atau bukan. Beberapa kalangan berpendapat bahwa instrumen ekonomi,
sebagaimana teori-teori yang disebutkan diatas hanya terdiri atas pajak, deposit refund system, treadable permit,
dan subsidi, sisanya adalah praktek ekonomi yang diberi label ramah lingkungan.
Di luar perdebatan yang terjadi, dari sudut pandang penaatan hukum yang
tujuannya adalah diterapkannya persyaratan lingkungan oleh para pemangku
kepentingan, instrument ekonomi memiliki peran yang signifikan.
KESIMPULAN
1.
Penerapan prinsip pencemar membayar tidak hanya
berarti bahwa pencemar membayar biaya atau ganti rugi atas kerusakan yang
ditimbulkan, tetapi juga pengeluaran biaya yang digunakan untuk mencegah adanya
kerusakan/pencemaran tersebut.
2.
Instrumen ekonomi, termasuk penerapan prinsip pencemar
membayar, menempati posisi strategis dalam penaatan hukum lingkungan, tetapi
penerapan instrumen ini mensyaratkan beberapa hal, yaitu :
a.
Dukungan pemerintah melalui pembentukan
peraturan pelaksana
b.
Mekanisme dan penentuan organisasi pelaksana
yang jelas
c.
Sosialisasi yang baik mengenai bentuk-bentuk
instrument ekonomi
Ketiga hal ini hanya bisa didapat jika
paradigma pembangunan berkelanjutan tidak hanya menjadi slogan, melainkan telah
menjadi arus utama dalam pengambilan keputusan. Hal paling mendesak yang harus
dilakukan adalah menetapkan Peraturan Pemerintah mengenai Instrumen ekonomi.
Ditetapkannya Peraturan Pemerintah mengenai Instrumen Ekonomi ini dapat
memberikan panduan bagi penerapan instrument ekonomi di Indonesia.
bandingin sama user pays principle dong
BalasHapus